Posted on Multiply, May 21, 2007 5:36 PM
Setetes air di telaga, itulah aku. Telaga, yang didalamnya aku berjejal-jejal dengan teman-temanku, tak terkira dalamnya. Kalau sinar matahari membiasi kami, maka sinar itu akan meredup lalu hilang gelap. Padahal sinar itu belum juga menyentuh dasar telaga. Kami bening tak berwarna.
Pernah aku mencoba untuk mencari dasar telaga ini tapi tak pernah bisa. Aku sudah takut dengan kegelapan dan dingin. Ya, semakin ke dasar maka akan semakin gelap dan dingin. Waktu itu aku bertanya kepada teman-temanku yang sudah cukup lama mendiami kedalaman itu; kepada Si Air Mata, Si Air Merkuri, Si Air Timbal, sampai Si “Bijak” Aquades.
“Maukah kau mengantarkanku ke dasar telaga?” aku mulai bertanya kepada Si Air Mata.
“Huhuhu,” dia menangis, “aku tidak tahu apakah aku mampu untuk itu; tidak, aku tidak bisa, huhuhu, aku hanya ingin sendiri menikmati kesedihan ini, huhuhu. Pergi!”
“Bisakah kau mengantarkan aku ke dasar telaga ini, wahai Air Merkuri?” kali ini aku bertanya kepada Si Air Merkuri.
“O,” jawabnya, “janganlah kau memintaku untuk mengantarkanmu ke dasar telaga ini karena aku mengandung merkuri, kalau aku menurutimu, aku akan mati membeku. Cobalah Si Timbal, mungkin dia mau mengantarkanmu. Si Timbal ada dibawahku, temuilah dia!”
Aku bergegas menemuinya. “Bisakah kau mengantarkan aku ke dasar telaga ini, wahai Air Timbal?”
“Jangan, jangan,” katanya, “aku tidak bisa, aku tidak bisa. Aku akan bersenyawa dengan Aquades, itu akan membuatnya mati. Aku tidak mau ia mati karena ulahku. Tanyalah kepadanya, mungkin saja ia punya jawaban untuk pertanyaan dan ajakanmu!”
“Aquades? Ia itu siapa?” pertanyaanku menyelidik.
“Aquades adalah air murni; ia terkenal sangat bijaksana,” ia mengakhiri percakapan.
Aku bertemu dengan Si “Bijak” Aquades lalu bertanya, “Wahai Aquades yang bijak, maukah kau mengantarkanku ke dasar telaga ini?”
“Daripada mencari dasar telaga ini,” jawabnya, “kenapa kau tak mencoba untuk mencari permukaannya? Disana kau akan menemui yang indah-indah setelah mentari datang memupuri tubuhmu dengan cahayanya. Pergilah ke sana!”
“Wah! Yang indah-indah? Benarkah? Baiklah aku akan ke permukaan,” keinginanku berubah, mungkin akibat kebijaksanaannya.
Benar saja, di permukaan telaga terasa lebih hangat. Aku melihat sekelilingku, luas sekali; telaga ini seluas pandangan, kemana saja aku memandang, tepinya tak terlihat.
E, e, e, kenapa ini? Tubuhku terasa ringan sekali. Aku terbang! Begitu juga dengan teman-temanku, mereka juga terbang bersamaku.
“Heh, kalian ringan sekali, memangnya ada apa? Kenapa kita bisa terbang seperti ini?” aku keheranan.
“Hahaha, ” mereka tertawa; lalu salah satu dari mereka menjawab, “Kita bukannya terbang, tapi kita sedang menguap ke langit. Memang, kesannya seperti terbang. Naik, naik, naik...terus naik, sampai nanti kawan; kita bertemu di awan dengan yang lain!”
Awan? Apa pula itu? Sementara aku masih keheranan, aku merasa kalau tubuhku tak ringan lagi, aku tak lagi terbang. Begitu juga dengan teman-temanku, kami berkumpul, bergumpal-gumpal, menghitam...mungkinkah ini yang disebut awan?
Angin berhembus kencang, menghantarkan kami kepada gumpalan-gumpalan yang lain. Bersama-sama kami berarak terbang di atas makhluk-makhluk dan benda-benda yang kata teman-temanku disebut pohon, binatang, manusia, gunung, padang runput, sungai, dan telaga. Telaga yang tadi aku diami sekarang terlihat sudah tepiannya. Di tepian itu, aku melihat seorang pria sedang duduk berpeluk lutut menatap nanar ke telaga. Matanya meneteskan air mata: aku tak peduli.
Kami masih berarak. Gumpalan-gumpalan yang terbentuk dari diri kami bertemu dengan gumpalan-gumapalan lain yang lebih besar lagi, berlapis-lapis. Teman-temanku saling melepas rindu dengan tetes-tetes air yang lain, saling menanyakan pengalaman mereka setelah berpisah begitu lama. Mereka bertemu, berjabatan, lalu berpelukan. Tiba-tiba sehabis berpelukan, mereka menyatu menjadi tetesan air yang lebih besar, lalu dengan gembira mereka menerjunkan diri bersama-sama sebagai tetesan-tetesan air dengan wujud semula. Aku? Aku masih diam disni.
“Hai,” setetes air mendatangiku, “maukah kau terjun bersama denganku; berpeganglah kepadaku!”
“Mengapa aku harus mau terjun bersama denganmu? Aku kerasan disini. Aku bisa melihat-lihat semuanya...”
“Kita harus melengkapi siklus kita dengan cara menerjunkan diri sebagai hujan,” dia menjelaskan alasannya. “Ayolah! Pepohonan, binatang, manusia, tanah kerontang…mereka menunggu kita turun! Ayolah! Cepat, atau kita akan lebih lama menunggu siklus berikutnya, melayang-layang. Ayolah!”
Dia langsung memelukku. Kami terjun bersama sebagai tetes hujan.
Jatuh, terjun bebas.
Kami jatuh membasahi rambut pria yang tadi kulihat meneteskan air mata dan duduk berpeluk lutut di tepi telaga; melelehi dahinya tepat diantara kedua matanya lalu berpelukan dengan air mata yang menetes di pipinya terus ke dagunya dan...tes, kami bertiga—aku temanku, dan air mata itu—telah bersatu menetes jatuh dari dagu pria itu ke tanah krontang yang sekarang sudah basah; lalu bersama tetesan-tetesan air yang lain, kami membentuk aliran air, lalu arus air...dan kembali ke telaga yang sama.
Aku kembali memperhatikan pria tadi: masih duduk berpeluk lutut, masih menatap nanar ke arah telaga, dan masih meneteskan air mata di pipinya. Entah kenapa. Aku heran, bukankan tanah di sekeliling telaga selalu kerontang? Lalu bagaimana bisa telaga yang sangat luas dan dalam ini dipenuhi air, sebab hujan jarang turun di sekitar telaga—itulah yang menyebabkan tanah di sekitar telaga menjadi kering kerontang—dan tidak ada sungai dan mata air yang mengalir ke telaga? Si Air Mata! Mungkin ia bisa memberi jawabannya.
Etanque
Depok, Mid-Desember 2002