Tuesday, August 7, 2012

Korek Telinga

Posted on Multiply, Jun 25, 2008 12:15 PM

Setelah menderita selama empat hari, pasangan akhirnya mau juga periksa ke dokter THT. Ya, telinga sebelah kanan pasangan bengkak. Untuk membuka mulut lebar-lebar saja kesakitan. Saya pun cemas. Saya terus-terusan mendesak pasangan untuk periksa ke dokter THT. Awalnya pasangan menolak karena alasan biaya. Akhirnya, pasangan menyerah juga. Begini kira-kira percakapan kami dan dokter ybs pada Kamis minggu lalu:

Dokter: "Ada yang bisa dibantu?"

Pasangan: "Begini, dok. Saya ceritain kronologisnya. Hari Selasa, saya ngebersihintelinga pakai cotton bud. Trus malemnya saya makan es krim. Ga lama, telinga saya kokberasa sakit."

Dokter: "Iya, itu telinga kamu meradang. Itu karena mengoreknya terlalu dalam."

Kami manggut-manggut.

Dokter: "Cotton bud itu sebenarnya ga disaranin. Sebab kalau pakai cotton bud, dia tidak membersihkan. Justru mendorong kotoran ke bagian dalam telinga "

Pasangan: "Jadi, bersihinnya gimana dok?"

Dokter: "Ga usah dibersihin."

Kami: "Kok?"

Dokter: "Sebenarnya, telinga itu punya mekanisme sendiri untuk ngebersihintelinga. Jadi ga dibersihin pun ga papa. Setiap orang, setiap telinga, kanan kiri, tidak sama. Begitu juga kotorannya. Ada yang keras. Ada juga yang encer, . Kalau memang mau dibersihkan, ke dokter THT tiga bulan sekali. Cotton bud memang murah. Tapi coba kamu hitung. Kalau sudah meradang begini. Biaya ke dokter mahal kan?"

Saya: "Iyayadok. Trus, kalau telinga saya gatel, bagaimana?"

Dokter tersenyum.

Dokter: "Itu karena mengorek telinga dijadikan kebiasaan. Jadi, setiap kali kita mengorek, ada penipisan (duh, saya malah lupa bagian yang ini, ) di telinga bagian dalam. Gatelitu karena kita yang buat. Bukan dari telinganya."

Pasangan: "Trus, kok bisa ada pabrik cotton bud ya?"

Dokter: "Sama saja kamu bertanya, kok bisa ada pabrik rokok? Mengorek telinga itu dijadikan candu. Rasanya enak kan kalau lagi mengorek telinga?"

Saya: "Iya sih dok," sambil mesam mesem

Telinga bagian dalam pasangan pun diperiksa. Saya dipersilahkan ikut melihat. Saya seolah-olah melihat ke dalam pipa. Kata dokter tersebut, telinga yang normal seharusnya berbentuk lingkaran. Sedangkan telinga pasangan berbentuk pipih. Ada peradangan di bagian tersebut. Kotoran telinga tidak bisa dikeluarkan sebelum radangnya disembuhkan. 
Lalu, telinga sebelah kiri diperiksa oleh dokter. Kotoran telinga pasangan pun dibersihkan oleh dokter. Selama proses pembersihan, pasangan batuk-batuk. Dokter membatalkan pembersihan karena telinga pasangan sensitif. Tapi, pasangan keukeuh, minta dibersihkan. Hasilnya: kotoran yang besar dan hitam, .

Saya: "Kok, bisa hitam begitu, dok?"

Dokter: "Jadi, kotoran telinga itu berwarna kuning muda. Ditumpul-tumpuk, jadi kuning tua. Ditumpuk-tumpuk, jadi kecokelatan. Ditumpuk-tumpuk, jadi hitam."

Saya manggut-manggut lagi. 

Setelah puas bertanya-tanya, kami menebus obat dan pulang. Perlahan, radang di telinga suami mulai sembuh. Hingga kini, baik saya dan pasangan belum membersihkan telinga,lho. Padahal, rasanya sudah gatal. Kalau ada uang lebih, saya mau bawa keluarga untuk membersihkan telinga ke dokter THT.

Bapak Sudah Tidak Ada

Posted on Multiply, Jun 19, 2008 1:16 PM

Tetangga belakang rumah saya meninggal dunia. Ada kejadian yang mengusik hati saya dan pasangan. Tidak diceritakan dengan jelas bagaimana almarhum meninggal. Ketika istri almarhum menduga suaminya telah meninggal, dipanggillah seorang ustadz. Beliau berkata: "Bapak sudah ga ada." Untuk menambah keyakinan, ustadz lain dipanggil. Jawabannya pun sama: "Sudah ga ada."
Jadilah, pasangan melayat ke rumah duka. Tidak lama, pasangan pun pulang. Berikutnya, mertua saya melayat. Beliau pulang dengan terheran-heran. "Mana? Katanya meninggal. Anaknya bilang masih napas."
Rupanya ada kesalahpahaman fatal. Beliau sebenarnya belum meninggal. Bisa dibilang mati suri. Pihak keluarga pun bergegas membawa beliau ke rumah sakit. Namun apa daya, pertolongan yang diberikan pihak RS tidak berhasil. Beliau pun meninggal. 
Saya pun pernah mengalami kejadian yang sama. Sewaktu ibu saya koma, dipanggillah ustadzah. Beliau berkata: "tipis" (maksudnya sudah tidak ada harapan hidup). Keluarga pun sudah pasrah dan hanya menunggu. Setelah terlalu lama menunggu, keluarga memutuskan untuk membawa ibu ke RS. Lima hari kemudian, ibu saya meninggal dunia. 
Saya sebal dengan para ustadz itu. Entah mendapat wangsit dari mana sehingga mereka bisa memvonis seseorang sudah meninggal atau belum? Mereka punya kuasa apa atas nyawa seseorang?
Apa karena mereka lebih paham hal-hal seperti itu, ya? Jengkelnya, baik saya, tetangga dan mungkin orang lain percaya mereka. Padahal, siapa tahu, kalau kita bergegas ke ahli medis, nyawa seseorang bisa tertolong. 

Ayo ke Bank

Posted on Multiply, Jun 19, 2008 12:56 PM

Saya suka ke bank. Dimana lagi tempat dimana saya disambut dengan super ramah dan kekeluargaan. Mulai dari satpam, teller, CSO, semua tersenyum dan menyapa. Tanpa peduli penampilan, jabatan, dan status. Meskipun, saya tahu itu semua bagian dari SOP pihak bank. Saya tetap suka bila harus pergi ke bank.
Yah, sekali dua kali, saya mendapati orang bank yang tidak ramah, judes, dsb. Saya biasanya membatin: lagi menopause kali ya. Meskipun begitu, saya suka ke bank! 

Makan Hati

Posted on Multiply, Juni 13, 2008 4:22 PM

Tulisan saya kali ini bukan tentang perasaan. Tapi hatinya ayam. Iya, hati yang biasa kita makan itu. Saya ini termasuk orang yang senang makan hati ayam. Hanya saja, akhir-akhir ini saya punya masalah dengan si hati. Setiap kali saya makan hati ayam, Chaska pasti susah BAB alias sembelit. 
Minggu lalu mungkin sembelit yang paling sakit buat Chaska. Sudah dua hari Chaska belum BAB. Memang, dua hari sebelumnya saya makan hati ayam. Bahkan sampai dua buah. Jadilah, Chaska mengalami kesulitan mengedan karena pup-nya keras. Setiap kali mengedan, pasti menangis histeris. Saya merasa bersalah pada saat itu dan berikrar untuk berhenti makan hati ayam selama menyusui. Akhirnya setelah perjuangan mengedan selama hampir satu jam, pup-nya Chaska keluar juga. Setelah itu, Chaska tertawa-tawa lagi. Saya pun lega melihatnya. 
Selain hati, saya tidak bisa makan pisang batu yang ditambahkan ke bumbu rujak. 
Lain halnya dengan cumi-cumi. Kalau saya makan hewan laut itu, Chaska tidak sembelit. Tapi, setiap buang angin baunya mak nyuss. Bahkan mengalahkan bau tempat sampah di depan rumah. 

Sampah

Posted on Multiply, May 27, 2008 7:41 PM

Lagi-lagi, saya melihat perilaku yang menyebalkan. Seorang pemuda tanggung, membuang bekas air mineral dalam kemasan tidak pada tempatnya. Yang lebih menjengkelkan, kira-kira 20 cm dari tempat orang itu berdiri, ada tempat sampah. Saya pun ngedumel. "Ya ampun, itu ada tempat sampah. Apa susahnya sih dibuang ke situ. "
Saya sudah sering melihat perilaku seperti itu. Buang sampah sembarangan, padahal di dekat-dekat mereka ada tempat sampah. 
Inilah jawaban pasangan ketika saya marah-marah:
"Ya, Yo, salahin bumi. Kenapa punya gravitasi. Kalau jatuh kan lurus kebawah. Coba kalau gravitasinya miring. Pasti tuh sampah masuk ke tempat sampah."
Oh, my...
*langsung nyubit mesra pasangan..*

Be-El-Te

Posted on Multiply, May 27, 2008 7:18 PM

Orang nomor dua di Indonesia: "Akan ada sanksi bagi orang-orang yang menghalangi masyarakat untuk mendapat haknya" (Siaran pers sehubungan penolakan BLT oleh beberapa kepala daerah)

Saya (menggumam): "Kira-kira, ada tidak ya, sanksi untuk orang (pemerintah) yang memiskinkan rakyatnya"

Pertama kalinya...

Posted on Multiply, May 8, 2008 9:12 PM

Jujur saja: Saya belum pernah memandikan si kecil sejak dia lahir. Si kecil terbiasa dimandikan ibu mertua. Sampai kemarin sore, datanglah berita itu. Saudara sepupu pasangan akan melangsungkan lamaran. Mertua merasa berkewajiban datang. Saya pun berlatih memandikan si kecil tadi pagi. Entah karena antusias atau lebih karena cemas, air yang tadinya mau saya siram ke dada si kecil, malah masuk ke mulut si kecil yang kebetulan sedang menganga. Si kecil pun gelagapan, tersedak, sampai akhirnya dia menjerit histeris, menangis plus batuk-batuk. Saya senewen. Sebab saya juga diawasi oleh orangtua pasangan dan adik-adiknya. Rasanya mau kabur saat itu juga. Saya tahan air mata yang mulai menggenang. Pasangan malah lebih sibuk daripada saya. Mulutnya komat komat membaca buku TOEFL-nya Baron.
Akhirnya, si kecil diambil alih oleh ibu mertua. Saya pun menghambur ke pasangan. Berusaha mati-matian untuk kelihatan ceria. Padahal...
Sorenya, saya berlatih lagi. Meskipun masih cemas, usaha saya jauh lebih baik dari tadi pagi. Karena acara mandi yang kurang sukses, mertua mulai berpikir untuk tidak datang ke acara itu. Entah lega atau sebal mendengarnya. 
Saya ingin sekali memandikan si kecil. Hanya karena saya belum terbiasa saja. Padahal kata pepatah, alam bisa karena biasa. Sedangkan saya? Dua kali latihan bukan berarti saya menjadi ahli memandikan bayi, kan? 

Ingatan Itu Membangunkan Saya

Posted on Multiply, Apr 17, 2008 9:29 PM


Awal bulan April, saya membaca opini seorang psikiater, Nalini Muhdi (Kompas, 1 April 2008: 7) Beliau memberikan opininya mengenai keadaan di mana ibu tega membunuh anaknya. Seperti kita tahu, fenomena tersebut menjadi berita utama akhir-akhir ini.
Dalam tulisannya, beliau menyebutkan gangguan mood pascamelahirkan (post-natal mood disorders). Saya kutip tulisan beliau sebagai berikut:

“Penyebab gangguan “mood” pascamelahirkan cukup kompleks. Ramuan faktor biologis, psikologis dan social-ekonomi saling berbaur. Faktor biologis menjadi potensi awal, lantas akan manifest bila ada faktor lain yang mencetuskan. Semisal faktor kepribadian, cara mengatasi masalah, self-esteem, riwayat kekerasan pada masa kecil dan saat sekarang, masalah perkawinan, kehidupan yang sulit, kondisi bayi, kurangnya dukungan sosial, atau tekanan ekonomi.
“Yang mengkhawatirkan, si ibu akan mengalami kesulitan dalam mengasuh serta menjalin ikatan emosional yang memadai terhadap bayi maupun anaknya yang lain. Dampaknya, anak-anak mereka bisa mengalami gangguan emosional dan perilaku, keterlambatan berbahasa dan gangguan kognitif, sebagai korban kekerasan yang dilakukan ibu, serta gangguan lainnya.
“Dalam kondisi berat bisa memunculkan keinginan untuk mengakhiri penderitaan lewat jalan yang membahayakan diri maupun anaknya. Bunuh diri (suicide) dan membunuh bayi sendiri (infanticide) pun terjadi …”

Beliau juga menyebutkan, kondisi tersebut tidak sama dengan baby blues yang normal melanda sebagian besar ibu usai melahirkan yang terjadi karena adanya perubahan hormonal yang drastis saat melahirkan. Gangguan mood ini belum tentu muncul segera setelah melahirkan.
Sebelum membaca tulisan tersebut, saya sempat menonton The Oprah Show yang mengangkat masalah kejiwaan, manic depressed. Dalam acaranya diberikan contoh, seorang ibu yang telah membunuh anaknya yang berusia 6 tahun. Dia mengatakan tidak sadar saat melakukannya. Sepanjang hidupnya, ibu tersebut berusaha bunuh diri dua kali.
Lalu, apa hubungannya semua itu dengan saya?
Beberapa jam setelah melahirkan, saya merasa bahagia sekaligus tertekan. Tekanan pertama, ASI saya tidak keluar. Karena tidak tega dengan si kecil yang terus-terusan menangis, susu formula pun diberikan. Sejak itu, rasanya semua orang menghujat saya. Saya pun merasa gagal. Tekanan berikutnya, kebiasaan si kecil yang belum teratur membuat saya kelelahan. Itu belum termasuk tekanan-tekanan dari masa lalu.
Saya ingin jujur dengan teman-teman. Sewaktu kecil (kelas 1 SD), saya mengalami kekerasan fisik yang dilakukan tante dan suaminya. Dipukul dan dikurung di kamar mandi menjadi makanan sehari-hari. Saya memang tinggal dengan mereka beserta kakek-nenek setelah orang tua bercerai. Puncak kekerasan terjadi di suatu malam, saat suami tante memukul wajah saya beberapa kali dengan alasan yang tidak jelas. Saya pun menjadi saksi korban di persidangan.
Setelah kejadian itu, kakak dari ayah mengangkat saya sebagai anak. Rupanya saya tidak beruntung. Saya mengalami kekerasan seksual yang dilakukan suaminya. Sampai akhir hidupnya, bukde—yang saya panggil ibu—tidak pernah tahu hal tersebut. Tidak hanya itu, kekerasan verbal pun saya alami dalam keluarga ini.
Akibat semua kekerasan itu, saya merasa terabaikan, kesepian, terhina dan tidak punya harga diri. Keinginan saya untuk bunuh diri sudah tidak terhitung. Tapi, entah bagaimana, saya mampu bertahan dan hidup sampai hari ini.
Akhirnya saya menikah dan tinggal di kontrakan kecil. Karena suatu hal, kami terpaksa pindah dan tinggal di rumah orang tua pasangan. Sifat dan kebiasaan yang berbeda mengharuskan saya untuk beradaptasi. Hal ini pun membuat saya tertekan.
Lalu si kecil pun lahir. Tekanan dari sana sini membuat saya lelah fisik dan batin.Mood saya pun naik turun. Suatu saat, saya sangat bahagia melihat tingkah polah si kecil. Saat lain, saya bisa sangat membenci si kecil. Keinginan untuk menyakiti diri dan si kecil, beberapa kali muncul. Kini, perasaan saya jauh lebih baik, setelah kembali menemukan alasan mendasar keberadaan saya dan si kecil. 

Gatot

Posted on Multiply, Apr 14, 2008 9:01 PM


Jelas itu bukan nama pasangan. Apalagi nama mertua. Dan seingat saya, saya tidak mempunyai teman atau kerabat yang bernama Gatot. Jadi sebenarnya, siapa Gatot? Mm, lebih tepatnya, apa yang saya maksud ini? Jadi, begini ceritanya:
Sewaktu hamil, saya terobsesi memberikan ASI ekslusif untuk si kecil. Tapi apa daya, ASI saya ternyata tidak sederas air terjun Niagara. Tapi, layaknya air PAM, kadang deras, seringnya mampet. Sementara si kecil bak pompa air. Jadilah, obsesi saya itu Gatot alias gagal total.
Tiga hari pertama setelah melahirkan, ASI saya tidak keluar sama sekali. Terpaksa si kecil minum susu formula. Bagus untuk si kecil, tapi tidak untuk saya. Rupanya obsesi yang gatot itu mempengaruhi saya. Saya stress, terutama selama 2 minggu pertama kehidupan si kecil. Saya terus-terusan menangis karena merasa tidak mampu memberikan ASI yang cukup. Nafsu makan saya pun menurun drastis. Pernah, saya tidak makan dari siang sampai keesokan paginya. Akibatnya, hampir seminggu tubuh saya demam dan merasa lelah luar biasa.
Pasangan was-was. Dia takut saya kena typhus karena kecapaian mengurus si kecil. Akhirnya kami pergi ke dokter. Setelah diagnosa, dokter memberi obat. Belakangan, saya tahu kalau salah satu obat adalah obat sakit maag—harganya membuat saya meringis karena dompet menipis!
Kembali lagi ke ASI. Oleh teman, saya dianjurkan banyak makan daun katuk. Wah, mertua saya lebih kalap. Beliau memburu katuk, bahkan sebelum daun-daun itu turun daripick up pengangkut di pasar. Tidak hanya katuk, pepaya muda pun teronggok dengan manisnya di meja makan. Sampai-sampai, tetangga saya yang juga baru melahirkan berkata, “Sampai budek makan daun katuk.” Tapi tetap saja, ASI saya layaknya air PAM, kadang deras, seringnya mampet. Saya pun pasrah. Mungkin memang sudah suratan takdir: Saya harus dijajah susu formula.

Dan Kontraksi Pun Dimulai

Posted on Multiply, Apr 3, 2008 4:44 PM

13 Maret 2008, pukul 20.00 WIB : Lagi-lagi saya merasakan kontraksi. Memang beberapa hari terakhir, saya mulai kontraksi, tapi palsu. Kontraksi yang ini pun saya abaikan. Setengah sebelas, saya merasakan kontraksi lagi. Setelah semenit, kontraksi berhenti. Lima menit kemudian, saya merasakan kontraksi. Dan terus seperti itu sampai keesokan harinya. Otomatis saya tidak tidur semalaman. Akhirnya saya, pasangan dan mertua memutuskan berangkat ke bidan. Taksi pun dipanggil. Sialnya, karena kami berangkat bersamaan dengan penglaju, kami pun terjebak macet.
Tambahan si sopir tidak tahu waktu. Di saat kami sedang cemas, sepanjang jalan dia bercerita tentang betapa malang hidupnya dan keluarganya . Belum lagi cara dia menyetir yang membuat saya bergoyang-goyang bak penari perut. Bukan, bukan ngebut. Mobilnya memang bergoyang-goyang ke kanan kiri. 
Akhirnya, setelah ocehan dan kemacetan yang panjang dan lama, kami sampai di bidan yang juga uwak pasangan. Jam menunjukkan 08.10 WIB. Beliaupun memeriksa saya. "Sudah dekat" katanya. Saya pun disuruh berganti, dari pakaian ke kain. Lalu berbaring di kasur, menunggu. Rasa sakit semakin menjadi. Saya disuruh mengatur napas dan mengejan kalau ada perasaan ingin buang air besar. Saya tidak ingat mengejan berapa kali. Yang saya ingat rasanya ingin marah karena kok bayinya tidak keluar-keluar. Akhirnya setengah sembilan lewat sepuluh buah hati kami lahir. Saya bersyukur karena prosesnya tidak lama. 
Proses berikutnya yang justru menyakitkan. Saya harus dijahit! Sampai sekarang saya tidak tahu mendapat berapa jahitan. Tapi saya ingat betul rasanya. Lebih sakit daripada melahirkan. Sampai-sampai saya berpikir, saya tidak mau hamil lagi karena tidak ingin dijahit. 
Bukan hanya itu, saya kena baby blues. Lebih jauh, rasanya saya kena postnatal disorder. Untuk hal ini lain kali saja ceritanya. 

  

Cuti

Posted on Multiply, Feb 29, 2008 2:34 PM


Dear teman-teman, kontak multiply:
Mulai minggu depan, saya cuti melahirkan. Jadi saya tidak akan on-line selama tiga bulan ke depan . Kalau sempat, saya mungkin akan 'lari' sebentar ke warnet dekat rumah. Untuk sekedar membaca posting-an teman-teman. 
Sampai jumpa tiga bulan lagi (atau sesempatnya saya ke warnet)
Have a super day!!

Kecele'

Posted on Multiply, Feb 29, 2008 2:29 PM


Lebih dari sebulan ini saya naik bis AC 24 trayek Bekasi-Manggarai via Barat dengan rute Bekasi-Pancoran-Supomo-Saharjo-Manggarai. Saya diuntungkan dengan keberadaan bis ini. Saya bisa menghemat tenaga. Tadinya, saya harus menyambung kendaraan umum 4 kali untuk sampai ke tempat kerja. Dari rumah ke terminal, terminal ke UKI, UKI ke Pancoran, Pancoran ke Supomo. Sekarang saya hanya naik dua kali saja. Senangnya!!
Nah, masalahnya, AC 24 jurusan Manggarai nomornya sama dengan AC 24 jurusan Senen. Jadi banyak calon penumpang yang kecele. Padahal di sebelah nomor 24 ada tulisan rute bis tsb. Bahkan di kaca depan juga tertempel kertas A4 dengan font besar, yang menyebutkan daerah mana saja yang dilewati.
Pernah suatu kali, ada ibu yang marah-marah karena salah naik. Dia menyalahkan supir dan kenek bis karena nomornya sama dengan bis jurusan Senen. Saya membatin, lha, memangnya dia tidak baca tulisan sebesar itu. Lagipula apa susahnya membaca. Yang dilihat nomor bisnya saja sih. Atau kalau tidak bertanya ke supir atau kenek bis.
Bis ini memang pecahan AC 24 trayek Bekasi-Senen. Dulunya AC 24 jurusan Senen ada yang lewat Bekasi Barat dan Bekasi Timur. Tapi karena sewa di Barat sepi, ditariklah trayek bis tsb. Selain itu, AC 24 bersaing dengan AC 63 trayek Bekasi-Ps Baru yang juga lewat Senen.
Trayek baru ini masih uji coba. Karena itu nomornya belum diganti. Kalau penumpangnya banyak, bis ini akan terus diadakan. Dan nomornya diganti menjadi 24 A. Informasi ini saya dapat dari menguping pembicaraan sopir/kenek dan penumpang lain, hehe.q

Langkah Ini Semakin Berat

Posted on Multiply, Feb 27, 2008 11:49 AM


Itu benar. Langkah saya semakin berat belakangan ini. Bagaimana tidak. Kurun waktu sembilan bulan, berat saya naik 15 kilogram. Pembagiannya tidak merata pula. Dari dulu, kalau saya mulai gemuk, pasti larinya ke perut, paha, dan bokong. Jadilah, setiap kali berjalan, saya melangkah dengan pelan.
Sampai-sampai saya selalu berdoa setiap kali berangkat bekerja. "Ya Allah, kumohon jangan ada angkot yang lewat." Bukan apa-apa. Kalau ada angkot, saya mesti cepat-cepat. Sebab, saya merasa tidak enak dengan penumpang lainnya. Bisa jadi mereka sedang terburu-buru. Kebanyakan doa saya dikabulkan. Jadi saya tidak perlu megap-megap mengatur napas.  

Ortu Impian

Posted on Multiply, Feb 26, 2008 1:50 PM


Di suatu pagi yang kelabu, mertua memasuki kamar saya.
"Yo, dua minggu lagi ngelahirin ya,"diucapkan dengan muka berseri-seri.
"Hmm..,"gumam saya.
"Nanti kalo Yo mules pas ngelahirin, Mama ga bisa apa-apa. Paling usep-usep perut Yo doang,"kata mertua.
Saya cuma mesam mesem.
"Yah, nanti nikmatinnya aja sakitnya. Pokoknya mulesnya nikmat deh,"kata mertua dengan santainya.
Sontak, saya yang sedang asyik tiduran diliputi perasaan paranoid.
"Duh, mama,"gerutu saya.
"Iya, pokoknya nikmaaaatt.."
Buseet, batin saya.
"Itu sebabnya, orang tua suka marah kalo anaknya ngelawan,"ujar mertua.
Saya mesam mesem lagi. Mertua pun mengakhiri percakapan begitu keluar dari kamar.
Oke, pikir saya. Kalimat mertua yang terakhir itu membuat saya semakin paranoid. Saya pun bercerita ke pasangan percakapan singkat itu.
Saya bilang begini, "Tang, Yo tau. Yo pasti akan punya masalah sama anak(-anak) kita. Dan Yo mau, kalo bisa "itu" ga Yo jadiin alasan."
Jadi begini, mentang-mentang saya yang mengandung dan melahirkan, saya berhak memperlakukan anak seenaknya. Saya sangat tidak ingin itu terjadi.
Semoga saya dan pasangan mampu berlaku adil dan bijaksana ke anak(-anak) kami kelak. Amiin.

Paranoid

Posted on Multiply, Feb 22, 2008 11:52 AM


Saya terbangun tengah malam. Saya lirik jam di HP. Pukul setengah satu lewat lima. Tiba-tiba saya merasa sedih dan sangat kehilangan. Saya peluk pasangan yang sedang lelap. Pelan-pelan air mata saya turun. Pasangan pun terbangun.
"Yo kenapa?"tanya pasangan
Untuk beberapa saat saya diam saja. Pasangan kembali menanyakan hal yang sama. Akhirnya saya bilang, "Yo takut".
"Takut apa?"
Saya diam lagi.
"Yo, takut apa?"tanya pasangan
"Yo takut ngelahirin"
Pasangan pun berkata, "Kan nanti Etang temenin. Etang kasih semangat. Ayo Yo..ayo"
Saya terdiam lagi. "Bukan itu" gumam saya
"Trus?"
"Yo takut meninggal"
Kali ini, gantian pasangan yang terdiam. Saya pun ikut diam.
"Nanti kan masuk surga"kata pasangan lagi.
"Bukan itu"kata saya. "Kalo Yo meninggal, Etang bagaimana? C (menyebut sebuah nama. Insya Allah nama anak kita kelak dan itu masih rahasia, hehe) bagaimana?"
Pasangan pun terdiam lagi. Hening.
"Iya, ya. Kalo Yo meninggal, Etang bagaimana?Wasiat Yo apa? Adopsi 24.000 anak?"
Saya mulai tersenyum. Meskipun ga yakin pasangan melihat. Sebab lampu kamar dimatikan.
"Ya, terserah."kata saya.
"Hmm.."gumam pasangan.
....
Jadilah selama dua setengah jam berikutnya, saya ngobrol ngalur ngidul dengan pasangan. Sampai akhirnya kami ketiduran. Sekarang saya sudah merasa lebih baik meskipun mengantuk.
PS. Tonchita, Je T'aime Bien!

Korupsi a la Cina-Indonesia

Posted on Multiply, Feb 8, 2008 11:32 AM


Suatu kali, seorang pejabat rendahan Indonesia studi banding ke Cina, sebutlah dia Pak I. Pada hari terakhir, Pak I diundang ke rumah pejabat rendahan Cina, Mr. C. Pak I terkagum-kagum melihat kemegahan rumah Mr. C. Dia pun memberanikan diri bertanya ke Mr. C
"Anda kan pejabat rendahan. Bagaimana bisa rumah Anda semegah ini?"
Mr. C mengajak Pak I ke jendela.
"Anda lihat jembatan itu?" tunjuk Mr. C kesebelah kiri.
"Iya," sahut Pak I.
"Anda lihat gedung itu?" tunjuk Mr. C ke sebelah kanan.
"Iya," sahut Pak I lagi.
Sambil menunjuk ke arah jembatan dan gedung, Mr. C berkata, "10 persen..10 persen"
Pak I pun manggut-manggut.
Lain waktu, Mr. C studi banding ke Indonesia. Dia pun diundang ke rumah Pak I. Mr. C takjub melihat rumah Pak I. Bukan hanya rumahnya yang megah. Peralatan makan Pak I bahkan terbuat dari emas perak asli!! Karena penasaran, Mr. C bertanya ke Pak I.
"Anda kan pejabat rendahan. Bagaimana Anda bisa memiliki semua ini?"
Pak I mengajak Mr. C ke jendela.
"Anda lihat jembatan itu?" tunjuk Pak I kesebelah kiri.
"Tidak," jawab Mr. C
"Anda lihat gedung itu?" tunjuk Pak I kesebelah kanan.
"Tidak," jawab Mr. C lagi.
Pak I pun menjawab sambil menunjuk ke arah jembatan dan gedung. "100 persen...100 persen.."..

Nujuh Bulanan Ngga Ya?

Posted on Multiply, Jan 11, 2008 2:02 PM


Mertua sudah beberapa kali menanyakan kapan mau tujuh bulanan. Salah seorang Alak (dalam bahasa Lampung berarti uwak, bude atau pakde) juga menanyakan hal yang sama. Duh, rasanya kok malas ya. Saya dan pasangan maunya tidak ada acara nujuhbulanan. Buang-buang uang kalau saya pikir. Lagipula itu kan bukan kewajiban. Lebih baik uangnya buat beli perlengkapan bayi. Atau buat beli buku, hehehe. Ada beberapa buku fiksi yang ingin saya beli, setelah minggu lalu beli Bartimaeus Trilogy. Inginnya beli semua sekaligus. Tapi masih ada keinginan lain. Yaitu kamera digital. Saya ingin beli untuk dokumentasi kelahiran anak saya nanti.
O iya, kembali ke soal nujuhbulanan. Saya sudah berbicara ke mertua soal keengganan kami. Dan dengan sukses beliau menunjukkan ketidaksetujuannya. Jadi, sampai sekarang belum diputuskan apakah acara tsb akan diadakan atau tidak. Omong-omong, minggu depan usia kandungan saya sudah tujuh bulan lho! 

Buku oh Buku

Posted on Multiply, Jan 3, 2008 1:13 PM


Hari ini saya curi-curi waktu untuk datang ke Gramedia Matraman. Selain tergiur diskon 30 persen, saya memang berniat membeli buku tentang bayi seri Ayahbunda dan Trilogy Bartimaeus versi bundel. Sayang, buku yang saya inginkan kalau tidak ada, ya habis. Ugh, sebalnya.
Padahal saya sudah rela menerobos hujan untuk sampai kesana. Belum lagi ada mobil semi ngebut yang mencipratkan genangan air ke celana saya dan pasangan. ..Yah, celana jins saya jadi lumayan berat dan yang pasti saya tambah kedinginan. .

(Akhirnya) Sibuk

Posted on Multiply, Jan 2, 2008 3:06 PM


Beginilah saya saat ini:
Hari Senin sudah harus kasih laporan ke pimpinan. Satu matriks pun belum saya buat!! ..Masih saja berkutat cari data di komputer tercinta...Alamaaak!!

Will You Marry Me??

Posted on Multiply, Dec 27, 2007 1:38 PM


...
Tuhan, beri aku nyali
untuk ucapkan janji sehidup semati
(Naif-Nyali)

Kira-kira begini percakapan saya dan pasangan setelah mendengar lagu Naif di radio:
Saya: "Berapa besar nyali Etang waktu ngelamar Yo?"
Etang (yang jidatnya berkerut-kerut karena konsen main game): "...."
Saya: "Tong?"
Etang (yang jidatnya masih berkerut-kerut) tertawa.
Saya: ???
Etang: "Ngelamar kok pake nyali. Ya, pake cinta dong.."
Saya tersenyum-senyum (dan membatin: "Ooo, so sweet"-nya acara Morning Zone di TraxFM.. )


Mau Dipanggil Apa?

Posted on Multiply, Dec 11, 2007 1:24 PM


Saat-saat menjelang pernikahan, saya bertanya ke pasangan. Dia mau dipanggil apa setelah menikah nanti. Abang, Aa', Mas, Kakanda, Kakangmas, Duli Tuanku atau apapun (oke, tiga terakhir itu ga pas di zaman sekarang). Sehari-hari pasangan dipanggil Aa' oleh ketiga adiknya yang selalu saya sebut ABThree. Maklum ada darah Indramayu di keluarga pasangan saya.
Pasangan pun dengan mantap berkata, "Panggil kayak biasa aja." Kayak biasa yang dimaksud adalah panggilan saya sehari-hari selama pacaran ke pasangan. Saya biasa memanggil pasangan dengan namanya: Etang. Malah suka saya panggil Gotong. Pasangan justru merasa risih kalau namanya diembel-embeli Aa', Mas, atau Abang.
Beberapa teman merasa heran dengan kemauan pasangan. Bahkan salah satu dari mereka berkata, "Ga papa sih. Kalau beda umurnya ga jauh, kan ga masalah." Langsung saya tertawa mendengar komentarnya. Bagaimana tidak. Saya dan pasangan terpaut 3.5 tahun. Semakin heranlah mereka.
Sampai akhirnya saya pun hamil. Saya kembali bertanya ke pasangan. Dia mau dipanggil apa kalau si kecil lahir. Pasangan maunya tidak perlu panggil dengan sebutan mama-papa, ayah-ibu, atau lainnya. Pasangan mau anak(-anak) memanggil kami dengan nama saja. Untuk yang satu ini saya menolak. Bukannya saya tidak setuju dengan kemauan pasangan. Masalahnya adalah apa lingkungan keluarga, kerabat dan teman-teman bisa menerima hal semacam itu. Pasangan mau menerima alasan itu. Jadi, gantian pasangan yang bertanya saya mau dipanggil apa. Saya tersenyum-senyum. Sejak tahu hamil, saya selalu mengobrol dengan jabang bayi dan selalu menyebut diri saya, mama. Jadi, pasangan setuju si kecil nanti akan memanggil kami dengan papa-mama.
Tapi, rasanya aneh, suatu hari nanti saya dipanggil mama..mama..

Hamil atau Busung Lapar?

Posted on Multiply, Dec 10, 2007 12:16 PM


Dua minggu terakhir ini saya sering bertemu dengan saudara dan kerabat. Baik pada saat menjenguk ibu di RS, pemakaman ibu, sampai tujuh hari-an alamarhumah. Jadilah, kami saling bertukar kabar atau nge-gosip sana sini. Banyak dari mereka pasti bertanya, "Eh, udah hamil ya? Berapa bulan?" Ketika saya jawab, "jalan enam." Mereka lantas berkomentar, "Kok kecil ya. Ngga kelihatan hamil." Jadilah saya bolak balik berkaca di manapun. Apa iya kecil, pikir saya waktu itu.
Bahkan, saya dibercandai, kayak busung lapar kata salah satu sepupu. Saudara dan kerabat pun tertawa mendengarnya. Saya membatin, wah, jangan-jangan orang yang di bis itu memang tidak ngeh kalau saya hamil. Sebab setiap saya naik bis, tidak ada yang menawari saya duduk. Kalaupun saya duduk, itu lebih karena orang ybs mau turun. . Untung jarak tempuh pancoran-uki tidak jauh. Jadi saya tidak perlu berlama-lama bergelayutan miring sana miring sini. 

Bergo Klingon*

Posted on Multiply, Dec 10, 2007 11:57 AM


Alkisah, suatu hari saya histeris melihat kondisi bergo kesayangan. Ada beberapa bagian yang melar sedemikian rupa. Sampai-sampai pasangan berkomentar dengan mimik serius, "Bagus Yo, kayak klingon.." APA??? Melarnya memang ada di bagian telinga. Dua-duanya pula. Usut punya usut, mertua saya menjemur bergo dengan gantungan baju. Jadi bergonya tidak dijemur di tali jemuran langsung.
Yah, saya memang menantu kurang ajar. Pakaian dicuci-in mertua. Waktu awal-awal pindah ke Pondok Mertua, saya masih mencuci sendiri termasuk pakaian pasangan. Sejak hamil, saya tidak sanggup jongkok lama-lama. Sesekali saya masih bantu menyetrika semua pakaian di akhir minggu.
Karena itulah, saya tidak bisa marah-marah dengan mertua. Sebelum insiden bergo klingon itu, jilbab abu-abu saya bolong sewaktu disetrika mertua. ..Duh!!.
Akhirnya, sekarang saya mencuci bergo-jilbab saya sendiri. Cuma, kemarin saya kecolongan. Karena mendung seharian, mertua inisiatif memasukkan cucian saya. Pagi tadi, saya baru ngeh, bergo saya digantung dengan manisnya memakai gantungan baju. Oh tidaaaakkk!!! Semakin histerislah saya. Sebab bergo itu kepunyaan almarhumah ibu saya. Rasanya sedih kalau bergo itu sampai rusak. Saya pun membatin, saya mesti lebih waspada soal bergo-jilbab ini. 
*Klingon: kalau ga salah, nama salah satu bangsa atau ras di film Star Trek jadul.

Akibat Pergaulan Bebas!!

Posted on Multiply, Dec 6, 2007 1:15 PM

Begini hasilnya kalau bergaul bebas dengan pasangan... ..
Si jabang bayi sudah mulai kerasa tendangannya lho. Kalau kata pasangan, "Uwet lagi maen lompat tali pake tali pusat." Holoh, ada-ada aja.

Ayo, baca label kemasan!!

Posted on Multiply, Dec 5, 2007 2:59 PM


Suatu ketika, seorang sepupu bertanya, saya minum susu ibu hamil merk apa. Saya menyebutkan satu merk yaitu L. Dia meng-ooo-kan, lalu berkata, "Kenapa ga minum P? Kalsiumnya lebih banyak lho."
Dulu, teman saya yang istrinya sedang hamil juga menanyakan hal yang sama. Saya jawab L. Dia menyarankan saya minum P karena katanya asam folatnya lebih banyak.
Saya pun penasaran. Kebetulan di rumah ada kotak kosong susu P. Saya membelinya karena kehabisan susu L di dua supermaket. Daripada saya tidak minum susu pikir saya waktu itu. Iseng saya membandingkan kandungan gizi kedua susu tersebut. Ternyata kalsium dalam susu L hampir sama dengan susu P. Sedangkan asam folat susu L justru lebih banyak dibandingkan dengan susu P. Ck..ck..ck, mereka tau darimana ya, bahwa kandungan gizi antara satu merk lebih banyak dibandingkan dengan merk lainnya.
Dulu, waktu awal kehamilan, pasangan yang meminta saya teliti membaca kemasan susu yang akan saya minum. Karena itulah saya memilih L dengan pertimbangan harga dan kandungan gizi.
PS. Ibu hamil butuh asam folat dan kalsium lebih banyak untuk perkembangan janin. Yah, bukan cuma dua zat itu saja. Itu cuma salah duanya.

Tidurlah nyenyak Bundaku sayang..

Posted on Multiply, Dec 5, 2007 1:54 PM


...
Never gonna go a day without you
Fill's me up just thinking about you
I'll never go a day
Without my mama

(Boyz II Men-A Song For Mama)

Lagu ini untuk ibundaku yang telah beristirahat dengan tenang pada
1 Desember 2007, pukul 21.50 WIB

(Tidak) Cacat

Posted on Multiply, Sept 26, 2007 1:10 PM


Mas Koko bangun dari tidurnya yang lelap. Dia pun bergegas, beribadah. Setelah itu, dia membersihkan tempat tinggalnya yang sederhana. Tidak lama, dia bersiap menjalani rutinitasnya. Diambilnya kruk kayu yang disandarkan di dinding. Tertatih-tatih, Mas Koko berjalan ke jalan raya. Dia memberhentikan Kopaja jurusan Kp. Melayu-Ps. Minggu yang sedang melaju. Mas Koko pun naik. Dia hendak ke Pasar Minggu. Apa yang akan dilakukan Mas Koko disana? Tidak, dia tidak hendak mengemis. Dia pergi ke salah satu pedagang janur langganannya. Dia membeli janur-janur pembuat kulit ketupat itu secukupnya. Setelah transaksi selesai, Mas Koko kembali ke rumahnya.
Sambil bercerita, Mas Koko asyik membuat kulit ketupat. Dia berkata bahwa meskipun cacat fisik, dia tidak mau menadahkan tangannya. Saya masih mampu bekerja, katanya lagi. Memang penghasilan Mas Koko pas-pasan. Pembeli kulit ketupat buatannya pun hanya tetangga sekitar. Menjelang lebaran, penghasilan Mas Koko meningkat. Lumayan, buat silaturahmi ke saudara, ujarnya.
Mas Koko tetap tersenyum meski hanya seorang pembuat kulit ketupat.
PS. Cerita diatas merupakan kisah nyata dimana Mas Koko secara fisik cacat namun mentalnya tidak. Lain dengan orang-orang yang menadahkan tangan hanya karena alasan semu, yaitu kesulitan mencari penghasilan. Saya selalu mendengar hal yang sama mulai dari pengamen, pengemis, preman yang berpura-pura jadi pengamen, dsb. Biasanya mereka akan mengandalkan kalimat-kalimat itu sebagai prolog. O iya, saya tahu cerita tentang Mas Koko ini dari Good Morning on the Weekend. Kebetulan saya menonton acara itu minggu kemarin.
Salut buat Mas Koko!

I'm Not Sick But I'm Not Well

Posted on Multiply, Sept 24, 2007 1:42 PM


Keluh kesah selama hamil..
1. Sakit Kepala
Masuk bulan ke-2 hamil, sakit kepala luar biasa menyerang sampai sekarang. Saat ini kehamilan saya jalan 4 bulan. Sakitnya benar-benar sakit. The worst headache I ever had in my whole life. Ga boleh minum obat. Jadinya cuma bisa pasrah, sabar dan nangis..Bahkan sakit kepala ini pernah buat saya pingsan di jalan. Untung ada pasangan yang selalu siap sedia. Menurut bidan, ini wajar, kondisi saya belum stabil.
2. Mual+muntah-muntah
Selama hamil, saya jarang muntah. Tapi saya selalu mual luar biasa. Akhir-akhir ini saja, saya rajin muntah. Rasanya? Jangan tanya..
3. Lapar tiada henti
Saya suka makan. Tapi, sejak hamil saya merasa capek terus-terusan mengunyah. Sebentar-sebentar harus makan. Kalau tidak cepat-cepat makan, saya bisa sakit kepala hebat, mual luar biasa, yang ujung-ujungnya muntah. Sampai-sampai saya memanggil janin saya Ulat Sutra atau "Ulette"..Saya memanggil demikian karena saya pernah menonton acara tentang ulat sutra. Ulat-ulat itu memang lamban kalau berjalan. Tapi kekuatan makannya dahsyat!!
4. Encok
Bagian pinggang dan panggul yang seringkali diserang. Rasanya nyut..nyut..nyut..Duh, bagaimana nanti kalau usia kandungan saya 8 atau 9 bulan..
5. Sering kegerahan
Bahkan pada saat saya naik bis AC, baju saya basah kuyup karena merasa gerah. Juga kecapekan menahan sakit kepala dan mual. Saya pun harus selalu pakai kipas angin pada saat tidur. Padahal saya bukan orang yang tahan memakai kipas angin. Jadilah saya sering masuk angin, yang menambah rasa mual dan sakit kepala.
6. Susah tidur
Saya seringkali terbangun hanya karena suara pelan sekalipun. Ini menyebalkan!! Masalahnya hampir tiap hari saya susah tidur. Akibatnya, saya pasti akan sakit kepala hebat seharian.
7. Ngidam
Syukurlah, saya tidak ngidam yang aneh-aneh. Selama ini apa yang saya inginkan masih wajar. Kalaupun tidak terpenuhi saat itu juga, saya tidak memaksa harus ada. Misalnya saya ingin brownies jam 3 pagi. Saya tidak menuntut pasangan harus mencarinya saat itu juga. Kadang-kadang apa yang saya mau baru terpenuhi beberapa hari kemudian.
Begitulah keadaan saya selama hamil ini. Sandaran saya berkeluh kesah setelah Tuhan ya tentu saja pasangan yang selalu setia mendengar ocehan (keluhan) saya, bahkan jam 3 pagi sekalipun!
Je t'aime bien, dear!

Gotcha!!

Posted on Multiply, Sept 12, 2007 1:48 PM


"Snapshot", acara yang ditayangkan Metro TV semalam membuat saya tersenyum-senyum. Saya memang tidak menonton langsung. Jadilah saya diceritakan adik ipar. Dia bercerita bagaimana para PNS lari, menghindar atau main tak umpet sewaktu hendak diwawancara mengenai keberadaan mereka di luar kantor pada jam kerja. Tingkah polah mereka memang sudah menjadi rahasia umum. Hampir seluruh PNS sering keluyuran pada saat jam kerja. Adik ipar saya kemudian menambahkan, ada salah satu menteri yang berkomentar: "PNS itu bekerja tanpa kata-kata". Lalu, diperlihatkan gambar seorang pegawai sipil yang sedang tidur di jam kerja. Yah, memang benar kalau begitu, tanpa kata. Lha orangnya tidur.
Dalam hati membatin, para PNS itu ribut-ribut soal gaji, tunjangan, askes, dsb sementara cara kerja mereka seperti itu. Kasihan yang benar-benar mengabdikan waktu dan tenaganya untuk melayani rakyat. Belum kalau gaji PNS dinaikkan. Seketika, barang-barang kebutuhan pun ikut melonjak. Konon, sebagian besar pengeluaran negara digelontorkan untuk membiayai PNS. Termasuk gaji, studi banding, pelatihan, sekolah, tunjangan ini-itu, dsb.
Omong-omong, acara ini insidental atau rutin ya?

Trayek Baru

Posted on Multiply Sept 5, 2007 1:43 PM

Hari ini saya naik bis 9B jurusan Kp. Rambutan-Bekasi Timur via tol Cikunir. Saya harus membayar lebih mahal Rp. 1000 dari tarif biasa. Kenapa lebih mahal? Karena bis tersebut lewat tol Cikunir yang tarifnya mahal itu. Saya memilih naik bis itu karena saya harus cepat sampai ke Depok. Dan memang saya lebih cepat sampai. Yah, sebenarnya saya diuntungkan karena menghemat waktu perjalanan. Sekaligus dirugikan karena beban tarif tol dilimpahkan ke pengguna bis. Bagaimana dengan mereka yang punya mobil pribadi, ya?

Tiga Bulan Pertama

Posted on Multiply Sept 4, 2007 2:42 PM


Saya mengalami mual hebat selama kehamilan pertama ini. Akibatnya saya jarang masuk kerja. Boro-boro berangkat kerja, pergi ke warung dekat rumah saja rasanya melayang-layang. Belum sakit yang terus menerus menyiksa kepala saya. Pendengaran dan penciuman saya jadi lebih sensitif. Bau nasi membuat perut saya semakin mual. Wangi cologne favorit juga membuat saya mual. Bau cairan pel lantai, cat, asap rokok, sayur sop, dan banyak lagi.
Saat orang-orang terlelap, saya justru uring-uringan. Suara sekecil apapun bisa membuat saya terbangun kaget. Saya tidak bisa tidur nyenyak. Kondisi ini membuat stres yang justru memperparah mual dan sakit kepala saya.
Menurut artikel yang saya baca, pada umumnya kondisi yang saya alami ini terjadi pada tiga bulan pertama. Saya berdoa semoga informasi itu benar. Sebab apa yang saya rasakan ini bukan morning sickness, melainkan all day sickness.
Doakan kehamilan saya, ya!

(Masihkah) Rumahku Istanaku

Posted on Multiply, August 23, 2007 12:39 PM


”Warga korban kebakaran kolong tol Pluit menolak pindah dengan alasan rumah susun yang disediakan pemerintah tidak layak huni.”

Kira-kira seperti itulah berita yang saya baca di running text salah satu televisi swasta. Saya pun membatin, “Apakah rumah mereka yang sudah rata dengan tanah itu bisa dibilang layak?” Seketika saya teringat teman lama sewaktu SMA dulu. Bisa dikatakan dia tinggal di daerah kumuh. Dimana jalan menuju rumahnya terdiri dari gang-gang kecil dengan selokan seadanya. Tidak ada jarak antara rumah yang satu dengan lainnya. Bangunan seolah-olah menempel erat-erat. Rapat, sesak, pengap. Sepuluh meter dari depan rumahnya merupakan rel kereta api. Bisa dibayangkan, setiap beberapa menit, rumah teman saya itu digoncang ‘gempa’. Saya sempat menginap beberapa kali di rumahnya. Saya tidak bisa tidur nyenyak pada waktu itu. Selain ‘gempa-gempa kecil’, saya merasakan kamar teman saya itu luar biasa pengap. Padahal kipas angin sudah dinyalakan ke kecepatan maksimal. Memang kamar teman saya itu tidak ada jendela sama sekali. Bahkan tidak ada lubang angin yang biasa terdapat di atas pintu. Sejak itu saya berjanji saya tidak akan tinggal di tempat seperti itu. Saya tidak bermaksud sombong. Sebab saya tidak akan sanggup tinggal di daerah seperti itu seumur hidup.

Saya pernah tinggal di rumah susun. Saya nilai, rumah susun justru jauh lebih layak untuk dihuni ketimbang rumah-rumah di kolong tol misalnya. Saya punya ventilasi dan sanitasi yang lebih baik. Saya punya lapangan olahraga dan taman bermain yang biasa digunakan oleh anak-anak penghuni rumah susun. Hal-hal yang jarang terdapat di pemukiman kumuh. Selama tinggal di rumah susun, saya baik-baik saja dan bahagia.

Dear "P"engendara "M"otor (dari "p"ejalan "k"aki):

Posted on Multiply, July 26, 2007 2:44 PM


Dear "P"engendara "M"otor (dari "p"ejalan "k"aki):

Wahai Saudaraku, Pengendara Motor: Ah, seandainya aku terbiasa untuk melihat dunia secara parsial saja, aku pasti akan melihat kalian, pengendara motor, itu berwarna putih saja (seperti artikel dari tetangga di bawah ini), tanpa embel-embel abu-abu, apalagi hitam.

Wahai Saudaraku, Pengendara Motor: Izinkan aku menanyakan: Bagaimana nasib kami, para pejalan kaki?

Wahai Saudaraku, Pengendara Motor: Kami, pejalan kaki yang bermodal dengkul, berbahan bakar nasi plus tempe dan, kalau beruntung, sambal derma dari Warteg Bahari, yang tak kenal jam kerja 8-5, dan yang tak khawatir di-PHK oleh anak isteri yang menganga. Yang dirampas haknya ketika asyiik melenggang di trotoar yang memang sudah hak kami, lantas jempalitan karena di-klakson dengan suara "Guk-^&$#-guk" plus musik merdu a la Mozart simphony # 21 dengan nada dasar E Mayor dari opera amplitudo knalpot-knalpot tanpa saringan yang sengaja diraung-betotkan demi mengirit BBM.

Wahai Saudaraku, Pengendara Motor: Dan, kami lalu mesti rela parkir minggir dan berbekal bekapan tangan tanpa masker dilampaui sekawanan motor lengkap dengan kabut hangat nan pekat hasil pembakaran bertimbal yang, dengar-dengar, katanya berbahaya bagi kesehatan. Atau kalau tidak mau parkir minggir: ya, diserempet di tunggir tanda betapa akrabnya Pengendara Motor dengan kami, pejalan kaki. Eit, jangan lupa canda tawa riang gembira sambil lalu dari Pengendara Motor dengan sapaan kesayangan "Mo*#et!" lengkap dengan kepalan tangan tanda solidaritas yang kental atau, kalau beruntung, acungan jari tengah yang diselimuti sarung tangan tanda keintiman.

Wahai Saudaraku, Pengendara Motor: Dus, belum lagi kalau hujan mendera, air menggenang. Tentu kami akan sangat akrab bersahabat dengan genangan air itu, berkat percikan lembut, layaknya splash cologne lima ribuan, hasil Mak Comblang dari roda terpacu 20 Km/jam. Baunya, jangan ditanya: beragam macam rupa aroma ada tak dinyana.

Wahai Saudaraku, Pengendara Motor: Ah, seandainya saja aku melihat dunia ini separuh-separuh, tentu aku akan melihat kalian dengan warna putih saja, tanpa embel-embel abu-abu, apalagi hitam.

Have a Super-ride,
etanq
perkumpulan peka (pejalan kaki), bukan pekak.

ps: Gila lu, Tang! Bahasa-lu sangat MahaSuperHyperbola sekali, deh!

copyright by etang 'my hubby'..d(^o^)b..

Pahlawan Ingin Tanda Jasa

Posted on Multiply, July 20, 2007 1:05 PM


Kemarin, ribuan guru berdemonstrasi di beberapa titik di Jakarta. Mereka mendesak pemerintah segera mengesahkan rancangan peraturan pemerintah tentang guru, merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam APBN, peningkatan kesejahteraan dan kualitas guru, dan sertifikasi yg adil, serta standardisasi UN.
Lupakanlah jargon pahlawan tanpa tanda jasa yang selalu didengung-dengungkan selama ini. Bagaimanapun, guru juga manusia. Mereka bisa merasakan lapar, haus, sakit, takut, dan sebagainya. Mereka membutuhkan jaminan akan kesejahteraan hidup mereka. Selain itu, mereka butuh dihargai atas pengabdian mereka selama belasan tahun bahkan puluhan tahun hidupnya.

Preman Pun Bernyanyi

Posted on Multiply, July 6, 2007 5:41 PM


Akhir-akhir ini, saya dibuat kesal dengan preman berkedok pengamen. Mereka biasanya berkelompok dua sampai tiga orang. Saya selalu bertemu mereka setiap berangkat dan pulang bekerja. Mereka bernyanyi layaknya pengamen dan menyapa penumpang dengan nada mengancam. Lalu bernyanyi sambil bertepuk tangan yang sengaja dikeras-keraskan, mengintimidasi. Setelah itu, mereka berceloteh, tentang bagaimana sulitnya mencari pekerjaan, tentang uang hasil mengamen yang akan dibelikan narkoba alias nasi rokok dan bala-bala, dsb. Kebanyakan ucapan mereka berupa keluhan ketimbang pesan positif.
Setelah itu mereka akan meminta—saya lebih suka menyebutnya memalak—penumpang. Kalau orang tersebut cukup sopan, biasanya dia diam saja ketika penumpang tidak memberi uang.  Lain halnya dengan mereka yang kasar. Ada yang memaki dengan kata b**i, didoakan kecopetan, dsb.  Pasangan saya sudah seringkali dimaki dan syukurnya pasangan sabar dengan mereka.  
Bahkan kadang-kadang, si preman tersebut akan menunggui penumpang sambil menunjukkan muka garang. Hal itu dilakukan agar penumpang mau—atau terpaksa—memberi uang.
Saya tidak suka dengan cara mereka. Memang saya memberi mereka uang. Itu lebih karena saya menghindari adu mulut dengan mereka. Saya tidak ikhlas dengan uang itu. Ingin rasanya marah setiap kali melihat mereka.
Pasangan saya berkata, “kasih uangnya dan anggap saja angin lalu.” Saya pun membatin, “sulitnya ikhlas kepada mereka..”

Sapu Lidi

Posted on Multiply, May 29, 2007 12:34 PM


"Assalamuallaikum Pak! Sapu lidinya??"
Saya dan pasangan sedang menuju Margo City ketika disapa oleh penjual sapu lidi tersebut. Mereka--ayah dan anak kecilnya--duduk menanti pembeli di trotoar jalan. Pasangan saya menolak dengan tersenyum lembut. Kami memang belum membutuhkan sapu lidi saat ini. Sebab setengah dari pekarangan rumah kontrakan kami berupa konblok. Tidak ada pohon di pekarangan tersebut kecuali seperempat bagian pohon ceri tetangga depan. Sejauh ini, kami tidak butuh sapu lidi.
Sapaan beberapa detik itu membuat hati saya bergetar. Mereka mungkin butuh uang untuk sekedar mengganjal perut malam itu. Atau mungkin mereka mengumpulkan uang karena istri dan ibu anaknya sakit di rumah. Siapa yang tahu.
Sapaan itu masih terngiang-ngiang di pikiran saya sampai saat ini. Ingatan saya pun kembali ke beberapa tahun yang lalu. Ketika itu kakak menyuruh saya membeli sapu lidi dari engkong-engkong yang kebetulan lewat di depan rumah. Begitu melihat fisik engkong tersebut saya tidak tega. Tubuhnya kelewat ringkih. Saya tanya berapa harga sapu lidinya. Siengkong menjawab tiga ribu rupiah. Tanpa pikir panjang saya bayar sapu lidi sesuai harga yang diminta. Begitu kembali ke dalam rumah, kakak saya bertanya berapa harga sapu lidi tersebut. Saya jawab sejujurnya. Saat itu juga saya diomeli karena menurutnya harga itu terlalu mahal. Saya balas mengomel. Tiga ribu rupiah harga yang pantas. Malah menurut saya kurang banyak. Di supermaket, harga sapu lidi sebesar itu bisa berkali lipat.
Kadang saya berpikir, Allah masih sayang dengan saya dan pasangan. Buktinya Allah masih menegur atau menyapa kami melalui kejadian-kejadian tersebut. Betapa kami masih jauh lebih beruntung daripada orang-orang di sekitar kami.
Semoga Allah masih terus mengingatkan kami untuk bersyukur!!

Euforia

Posted on Multiply, May 28, 2007 12:37 PM


Ayo, kita ramai-ramai berbelanja!!
Saya sedang asyik memilih-milih temulawak di Hypermart Depok Town Square saat saya menyadari banyak orang berbelanja malam Sabtu lalu. Ada apa gerangan? Saya baru ngeh bahwa hari itu merupakan tanggalgajian. Dan akan terus berlangsung sampai awal bulan Juni. Banyak teman dan kenalan biasanya berdalih belanja bulanan. Jujur saja, saya meragukan itu.
Saya ambil contoh saudara dekat, tanpa bermakud menjelekkan namanya. Setiap kali dia gajian, dia seperti kerasukan. Belanja, belanja, dan belanja. Begitu tengah bulan, dia akan menelpon saya, merengek meminjam uang. Seringkali dia begitu. Banyak teman yang sudah bekerja juga mengalami hal yang tidak jauh beda. Keuangan paceklik di minggu ketiga keempat.
Tadinya saya seperti saudara saya itu. Kurang cerdas mengelola keuangan sendiri. Bahkan saya tidak tahu kemana larinya uang-uang yang sudah saya pergunakan. Beruntung pasangan saya melek finansial, meskipun dia bukan seorang ahli keuangan. Pasangan menganjurkan saya membuat rasio keuangan.
Setelah dibantu dengan sabar, saya berhasil membuat rasio keuangan saya sendiri. Saya membuat rasio 50:25:15:10, berapapun penghasilan yang saya dapat. Penjelasannya seperti ini: 50 persen merupakan uang lancar, seperti makan, bayar kos (pada saat membuat rasio ini, saya masih kuliah semester akhir); 25 persen untuk foya-foya (saya menyebutnya demikian karena uang itu memang jatah untuk dihabiskan alias foya-foya); 15 persen untuk ditabung; 10 persen untuk keperluan kuliah. Setiap pengeluaran saya catat serta simpan slip-slip pembayaran sebagai bukti. Bahkan setelahgajian berikutnya, saya masih memiliki uang sisa.
Berkat rasio sederhana itu, saya dapat mengendalikan keuangan pribadi. Bahkan setelah menikah pun, saya masih tetap membuat rasio. Karena sekarang saya memegang jabatan keuangan di rumah tangga.
Saya pun memberitahu beberapa teman dan saudara dekat saya itu untuk membuat rasio agar keuangan mereka lebih terkendali. Sayang sekali beberapa menolak sambil berkata: "Ah, sama aja pake rasio juga gangaruh. Tetep aja gue keabisan duit." Atau ada yang menyetujui namun tidak bertindak, hanya mengamini anjuran saya saja.Saya pun cuma membatin, "Itu kan buat kalian juga."
Memang kelihatannya sulit membuat rasio itu. Padahal menurut saya, hal tersebut sangat mudah sekali. Yang sulit adalah disiplin. Nah, kebetulan orang-orang yang saya anjurkan itu agak sulit berdisiplin dengan uang. Saya pun tak patah arang untuk mengajak orang-orang berdisiplin akan uang. Sebab saya sudah merasakan manfaatnya.
Jadi, ayo kita belanja lagi!!!

Mati

Posted on Multiply, May 23, 2007 12:52 PM

Dalam diam, tubuhku tak bergerak. Aku mencari-cari tatapan yang selalu meneduhkan jiwaku. Akh, itu dia disana. Matanya tertutup rapat. Bibirnya tersenyum membiru. Oh, dia sedang tidur pikirku. Kurasakan tangan memelukku. "Dia sudah pergi," bisiknya lirih. Aku melihat orang-orang menangis. Barulah aku mengerti. "Ayah.." aku ikut berbisik.

Kisah Setetes Cinta

Posted on Multiply, May 21, 2007 5:36 PM


Setetes air di telaga, itulah aku. Telaga, yang didalamnya aku berjejal-jejal dengan teman-temanku, tak terkira dalamnya. Kalau sinar matahari membiasi kami, maka sinar itu akan meredup lalu hilang gelap. Padahal sinar itu belum juga menyentuh dasar telaga. Kami bening tak berwarna.
            Pernah aku mencoba untuk mencari dasar telaga ini tapi tak pernah bisa. Aku sudah takut dengan kegelapan dan dingin. Ya, semakin ke dasar maka akan semakin gelap dan dingin. Waktu itu aku bertanya kepada teman-temanku yang sudah cukup lama mendiami kedalaman itu; kepada Si Air Mata, Si Air Merkuri, Si Air Timbal, sampai Si “Bijak” Aquades.
            “Maukah kau mengantarkanku ke dasar telaga?” aku mulai bertanya kepada Si Air Mata.
            “Huhuhu,” dia menangis, “aku tidak tahu apakah aku mampu untuk itu; tidak, aku tidak bisa, huhuhu, aku hanya ingin sendiri menikmati kesedihan ini, huhuhu. Pergi!”
            “Bisakah kau mengantarkan aku ke dasar telaga ini, wahai Air Merkuri?” kali ini aku bertanya kepada Si Air Merkuri.
            “O,” jawabnya, “janganlah kau memintaku untuk mengantarkanmu ke dasar telaga ini karena aku mengandung merkuri, kalau aku menurutimu, aku akan mati membeku. Cobalah Si Timbal, mungkin dia mau mengantarkanmu. Si Timbal ada dibawahku, temuilah dia!”
            Aku bergegas menemuinya. “Bisakah kau mengantarkan aku ke dasar telaga ini, wahai Air Timbal?”
            “Jangan, jangan,” katanya, “aku tidak bisa, aku tidak bisa. Aku akan bersenyawa dengan Aquades, itu akan membuatnya mati. Aku tidak mau ia mati karena ulahku. Tanyalah kepadanya, mungkin saja ia punya jawaban untuk pertanyaan dan ajakanmu!”
            “Aquades? Ia itu siapa?” pertanyaanku menyelidik.
            “Aquades adalah air murni; ia terkenal sangat bijaksana,” ia mengakhiri percakapan.
            Aku bertemu dengan Si “Bijak” Aquades lalu bertanya, “Wahai Aquades yang bijak, maukah kau mengantarkanku ke dasar telaga ini?”
            “Daripada mencari dasar telaga ini,” jawabnya, “kenapa kau tak mencoba untuk mencari permukaannya? Disana kau akan menemui yang indah-indah setelah mentari datang memupuri tubuhmu dengan cahayanya. Pergilah ke sana!”
            “Wah! Yang indah-indah? Benarkah? Baiklah aku akan ke permukaan,” keinginanku berubah, mungkin akibat kebijaksanaannya.
            Benar saja, di permukaan telaga terasa lebih hangat. Aku melihat sekelilingku, luas sekali; telaga ini seluas pandangan, kemana saja aku memandang, tepinya tak terlihat.
            E, e, e, kenapa ini? Tubuhku terasa ringan sekali. Aku terbang! Begitu juga dengan teman-temanku, mereka juga terbang bersamaku.
            “Heh, kalian ringan sekali, memangnya ada apa? Kenapa kita bisa terbang seperti ini?” aku keheranan.
            “Hahaha, ” mereka tertawa; lalu salah satu dari mereka menjawab, “Kita bukannya terbang, tapi kita sedang menguap ke langit. Memang, kesannya seperti terbang. Naik, naik, naik...terus naik, sampai nanti kawan; kita bertemu di awan dengan yang lain!”
            Awan? Apa pula itu? Sementara aku masih keheranan, aku merasa kalau tubuhku tak ringan lagi, aku tak lagi terbang. Begitu juga dengan teman-temanku, kami berkumpul, bergumpal-gumpal, menghitam...mungkinkah ini yang disebut awan?
            Angin berhembus kencang, menghantarkan kami kepada gumpalan-gumpalan yang lain. Bersama-sama kami berarak terbang di atas makhluk-makhluk dan benda-benda yang kata teman-temanku disebut pohon, binatang, manusia, gunung, padang runput, sungai, dan telaga. Telaga yang tadi aku diami sekarang terlihat sudah tepiannya. Di tepian itu, aku melihat seorang pria sedang duduk berpeluk lutut menatap nanar ke telaga. Matanya meneteskan air mata: aku tak peduli.
            Kami masih berarak. Gumpalan-gumpalan yang terbentuk dari diri kami bertemu dengan gumpalan-gumapalan lain yang lebih besar lagi, berlapis-lapis. Teman-temanku saling melepas rindu dengan tetes-tetes air yang lain, saling menanyakan pengalaman mereka setelah berpisah begitu lama. Mereka bertemu, berjabatan, lalu berpelukan. Tiba-tiba sehabis berpelukan, mereka menyatu menjadi tetesan air yang lebih besar, lalu dengan gembira mereka menerjunkan diri bersama-sama sebagai tetesan-tetesan air dengan wujud semula. Aku? Aku masih diam disni.
            “Hai,” setetes air mendatangiku, “maukah kau terjun bersama denganku; berpeganglah kepadaku!”
            “Mengapa aku harus mau terjun bersama denganmu? Aku kerasan disini. Aku bisa melihat-lihat semuanya...”
            “Kita harus melengkapi siklus kita dengan cara menerjunkan diri sebagai hujan,” dia menjelaskan alasannya. “Ayolah! Pepohonan, binatang, manusia, tanah kerontang…mereka menunggu kita turun! Ayolah! Cepat, atau kita akan lebih lama menunggu siklus berikutnya, melayang-layang. Ayolah!”
            Dia langsung memelukku. Kami terjun bersama sebagai tetes hujan.
            Jatuh, terjun bebas.
            Kami jatuh membasahi rambut pria yang tadi kulihat meneteskan air mata dan duduk berpeluk lutut di tepi telaga; melelehi dahinya tepat diantara kedua matanya lalu berpelukan dengan air mata yang menetes di pipinya terus ke dagunya dan...tes, kami bertiga—aku temanku, dan air mata itu—telah bersatu menetes jatuh dari dagu pria itu ke tanah krontang yang sekarang sudah basah; lalu bersama tetesan-tetesan air yang lain, kami membentuk aliran air, lalu arus air...dan kembali ke telaga yang sama.
            Aku kembali memperhatikan pria tadi: masih duduk berpeluk lutut, masih menatap nanar ke arah telaga, dan masih meneteskan air mata di pipinya. Entah kenapa. Aku heran, bukankan tanah di sekeliling telaga selalu kerontang? Lalu bagaimana bisa telaga yang sangat luas dan dalam ini dipenuhi air, sebab hujan jarang turun di sekitar telaga—itulah yang menyebabkan tanah di sekitar telaga menjadi kering kerontang—dan tidak ada sungai dan mata air yang mengalir ke telaga? Si Air Mata! Mungkin ia bisa memberi jawabannya.

Etanque                                                                                                         
Depok, Mid-Desember 2002