Akhir-akhir ini, saya dibuat kesal dengan preman berkedok pengamen. Mereka biasanya berkelompok dua sampai tiga orang. Saya selalu bertemu mereka setiap berangkat dan pulang bekerja. Mereka bernyanyi layaknya pengamen dan menyapa penumpang dengan nada mengancam. Lalu bernyanyi sambil bertepuk tangan yang sengaja dikeras-keraskan, mengintimidasi. Setelah itu, mereka berceloteh, tentang bagaimana sulitnya mencari pekerjaan, tentang uang hasil mengamen yang akan dibelikan narkoba alias nasi rokok dan bala-bala, dsb. Kebanyakan ucapan mereka berupa keluhan ketimbang pesan positif.
Setelah itu mereka akan meminta—saya lebih suka menyebutnya memalak—penumpang. Kalau orang tersebut cukup sopan, biasanya dia diam saja ketika penumpang tidak memberi uang. Lain halnya dengan mereka yang kasar. Ada yang memaki dengan kata b**i, didoakan kecopetan, dsb. Pasangan saya sudah seringkali dimaki dan syukurnya pasangan sabar dengan mereka.
Bahkan kadang-kadang, si preman tersebut akan menunggui penumpang sambil menunjukkan muka garang. Hal itu dilakukan agar penumpang mau—atau terpaksa—memberi uang.
Saya tidak suka dengan cara mereka. Memang saya memberi mereka uang. Itu lebih karena saya menghindari adu mulut dengan mereka. Saya tidak ikhlas dengan uang itu. Ingin rasanya marah setiap kali melihat mereka.
Pasangan saya berkata, “kasih uangnya dan anggap saja angin lalu.” Saya pun membatin, “sulitnya ikhlas kepada mereka..”
No comments:
Post a Comment