Mas Koko bangun dari tidurnya yang lelap. Dia pun bergegas, beribadah. Setelah itu, dia membersihkan tempat tinggalnya yang sederhana. Tidak lama, dia bersiap menjalani rutinitasnya. Diambilnya kruk kayu yang disandarkan di dinding. Tertatih-tatih, Mas Koko berjalan ke jalan raya. Dia memberhentikan Kopaja jurusan Kp. Melayu-Ps. Minggu yang sedang melaju. Mas Koko pun naik. Dia hendak ke Pasar Minggu. Apa yang akan dilakukan Mas Koko disana? Tidak, dia tidak hendak mengemis. Dia pergi ke salah satu pedagang janur langganannya. Dia membeli janur-janur pembuat kulit ketupat itu secukupnya. Setelah transaksi selesai, Mas Koko kembali ke rumahnya.
Sambil bercerita, Mas Koko asyik membuat kulit ketupat. Dia berkata bahwa meskipun cacat fisik, dia tidak mau menadahkan tangannya. Saya masih mampu bekerja, katanya lagi. Memang penghasilan Mas Koko pas-pasan. Pembeli kulit ketupat buatannya pun hanya tetangga sekitar. Menjelang lebaran, penghasilan Mas Koko meningkat. Lumayan, buat silaturahmi ke saudara, ujarnya.
Mas Koko tetap tersenyum meski hanya seorang pembuat kulit ketupat.
PS. Cerita diatas merupakan kisah nyata dimana Mas Koko secara fisik cacat namun mentalnya tidak. Lain dengan orang-orang yang menadahkan tangan hanya karena alasan semu, yaitu kesulitan mencari penghasilan. Saya selalu mendengar hal yang sama mulai dari pengamen, pengemis, preman yang berpura-pura jadi pengamen, dsb. Biasanya mereka akan mengandalkan kalimat-kalimat itu sebagai prolog. O iya, saya tahu cerita tentang Mas Koko ini dari Good Morning on the Weekend. Kebetulan saya menonton acara itu minggu kemarin.
Salut buat Mas Koko!
No comments:
Post a Comment