Tuesday, August 7, 2012

Ingatan Itu Membangunkan Saya

Posted on Multiply, Apr 17, 2008 9:29 PM


Awal bulan April, saya membaca opini seorang psikiater, Nalini Muhdi (Kompas, 1 April 2008: 7) Beliau memberikan opininya mengenai keadaan di mana ibu tega membunuh anaknya. Seperti kita tahu, fenomena tersebut menjadi berita utama akhir-akhir ini.
Dalam tulisannya, beliau menyebutkan gangguan mood pascamelahirkan (post-natal mood disorders). Saya kutip tulisan beliau sebagai berikut:

“Penyebab gangguan “mood” pascamelahirkan cukup kompleks. Ramuan faktor biologis, psikologis dan social-ekonomi saling berbaur. Faktor biologis menjadi potensi awal, lantas akan manifest bila ada faktor lain yang mencetuskan. Semisal faktor kepribadian, cara mengatasi masalah, self-esteem, riwayat kekerasan pada masa kecil dan saat sekarang, masalah perkawinan, kehidupan yang sulit, kondisi bayi, kurangnya dukungan sosial, atau tekanan ekonomi.
“Yang mengkhawatirkan, si ibu akan mengalami kesulitan dalam mengasuh serta menjalin ikatan emosional yang memadai terhadap bayi maupun anaknya yang lain. Dampaknya, anak-anak mereka bisa mengalami gangguan emosional dan perilaku, keterlambatan berbahasa dan gangguan kognitif, sebagai korban kekerasan yang dilakukan ibu, serta gangguan lainnya.
“Dalam kondisi berat bisa memunculkan keinginan untuk mengakhiri penderitaan lewat jalan yang membahayakan diri maupun anaknya. Bunuh diri (suicide) dan membunuh bayi sendiri (infanticide) pun terjadi …”

Beliau juga menyebutkan, kondisi tersebut tidak sama dengan baby blues yang normal melanda sebagian besar ibu usai melahirkan yang terjadi karena adanya perubahan hormonal yang drastis saat melahirkan. Gangguan mood ini belum tentu muncul segera setelah melahirkan.
Sebelum membaca tulisan tersebut, saya sempat menonton The Oprah Show yang mengangkat masalah kejiwaan, manic depressed. Dalam acaranya diberikan contoh, seorang ibu yang telah membunuh anaknya yang berusia 6 tahun. Dia mengatakan tidak sadar saat melakukannya. Sepanjang hidupnya, ibu tersebut berusaha bunuh diri dua kali.
Lalu, apa hubungannya semua itu dengan saya?
Beberapa jam setelah melahirkan, saya merasa bahagia sekaligus tertekan. Tekanan pertama, ASI saya tidak keluar. Karena tidak tega dengan si kecil yang terus-terusan menangis, susu formula pun diberikan. Sejak itu, rasanya semua orang menghujat saya. Saya pun merasa gagal. Tekanan berikutnya, kebiasaan si kecil yang belum teratur membuat saya kelelahan. Itu belum termasuk tekanan-tekanan dari masa lalu.
Saya ingin jujur dengan teman-teman. Sewaktu kecil (kelas 1 SD), saya mengalami kekerasan fisik yang dilakukan tante dan suaminya. Dipukul dan dikurung di kamar mandi menjadi makanan sehari-hari. Saya memang tinggal dengan mereka beserta kakek-nenek setelah orang tua bercerai. Puncak kekerasan terjadi di suatu malam, saat suami tante memukul wajah saya beberapa kali dengan alasan yang tidak jelas. Saya pun menjadi saksi korban di persidangan.
Setelah kejadian itu, kakak dari ayah mengangkat saya sebagai anak. Rupanya saya tidak beruntung. Saya mengalami kekerasan seksual yang dilakukan suaminya. Sampai akhir hidupnya, bukde—yang saya panggil ibu—tidak pernah tahu hal tersebut. Tidak hanya itu, kekerasan verbal pun saya alami dalam keluarga ini.
Akibat semua kekerasan itu, saya merasa terabaikan, kesepian, terhina dan tidak punya harga diri. Keinginan saya untuk bunuh diri sudah tidak terhitung. Tapi, entah bagaimana, saya mampu bertahan dan hidup sampai hari ini.
Akhirnya saya menikah dan tinggal di kontrakan kecil. Karena suatu hal, kami terpaksa pindah dan tinggal di rumah orang tua pasangan. Sifat dan kebiasaan yang berbeda mengharuskan saya untuk beradaptasi. Hal ini pun membuat saya tertekan.
Lalu si kecil pun lahir. Tekanan dari sana sini membuat saya lelah fisik dan batin.Mood saya pun naik turun. Suatu saat, saya sangat bahagia melihat tingkah polah si kecil. Saat lain, saya bisa sangat membenci si kecil. Keinginan untuk menyakiti diri dan si kecil, beberapa kali muncul. Kini, perasaan saya jauh lebih baik, setelah kembali menemukan alasan mendasar keberadaan saya dan si kecil. 

No comments:

Post a Comment