Tuesday, August 7, 2012

Catatan Saieu


Handphone-ku bergetar: ada pesan…

from: 0817553556             06 : 51
hi! gmna kbar? msh
inget aku?
                        proceed?

Siapa ini? Aku tidak mengenali nomernya. Pagi-pagi seperti ini. Tapi aku penasaran, aku membalas…

to: 0817553556                 06 : 55
siapa lo? tau no gw
drmana?
                        send?

Orang itu—siapapun dia atau ia—membalas…

from: 0817553556             06 : 59
ala ama mantan masa
lupa, aku pcr kamu
waktu sma, saieu
inget ga?
                        proceed?

Saieu (memang begitu ditulisnya)? Kamu, aku takkan lupa. Aku tersenyum-senyum sendiri sambil berbaring di kasur, ini hari Minggu. Hmmm, Saieu. Kamu masih ingat aku, padahal kita hampir lima tahun tak ketemu. Aku ingat. Cepat-cepat aku hubungi kamu, kali ini langsung lewat telepon bukan lewat sms.
“Halo? Sae”
“Ya? Kemana aja kamu?”
(Suaramu masih seindah yang kuingat, dan kamu masih menggunakan diksi “kamu”: aku tidak begitu terkejut)
Lho? Bukannya aku yang harus nanya: kemana aja kamu?”
Ah, kamu emang ngga pernah berubah! Aku masih kuliah, lagi skripsi; ampirselesai sih, Cuma lagi bingung bikin ucapan terimakasih untuk siapa aja. Kamu? Itu udah pasti…”
Wah, sebentar lagi wisuda, dong? Tapi ‘kan…”
“Iya, tapi ‘kan engga ada yang nemenin aku entar; kamu gimanaUdah mulai cari-cari bahan? Topiknya apa? Trus kapan rencananya mau lulus? Kita ke luar,yukMakan, kek, jalan-jalan, kek, atau apalah, yang penting kita bisa ketemuan, kamu ada waktu? Aku kangen!”
(Iya, kamu Saieu yang aku kenal, yang selalu memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jeda. Aku juga kangen.)
O.K! Tapi kapan?”
“Kapan aja aku bisa!” 
Hmmm, sore nanti jam empat di tempat yang biasa! Kamu masih inget, ‘kan?”
“Tempat biasa? Yang mana, ya? Hehehe, becanda, inget, inget, aku masihinget.”
“Ya, udah, aku mau tidur lagi, masih ngantuk. Dah!”
“Bobo lagi sana, mimpi indah, ya? Dah!”
“”Kalimat terakhirmu, itulah yang selalu kamu ucapkan ketika aku ingin tidur; biasanya berhasil, tapi kali ini tidak. Alih-alih mengantuk, aku malah melotot. Banyak kisah yang harus dikejar. Tubuhku terbaring, pikiranku berkelana.
Aku teringat ketika aku baru masuk SMA, kamulah perempuan yang pertama kukenal di SMA. Perempuan yang akhirnya kupacari meskipun mulanya hanya karena ketertarikan fisik saja, yang kubuatkan puisi picisan dan kukirimi melati tak bosan-bosannya, yang mengajariku bagaimana caranya berciuman, yang belaianmu sanggup meredakan amarahku, yang dengan cintamu ‘membebaskanku’, dan ‘yang-yang’ yang lainnya.
Kamulah perempuan pertama yang menelanjangi aku di tempat tidur. Tanganmu menjalari tubuhku, lidahmu menguasai sudut-sudutku; aku Cuma terlentang tak berkutik. Waktu itu, aku baru saja selesai bertengkar dengan orang tuaku yang ingin cerai (kenapa harus takut mengucapkan kata itu). Mereka berteriak, memaki, melempar; berakhir dengan bantingan pintu, tangisan adik-adikku, dan suara mobil yang dipacu. Yang tersisa adalah ibuku di kamarnya. Aku datangi dia, aku menanyakan ‘ini-itu’ tapi tak dijawab, ia malah membentakkku, aku balas membentak lalu lari ke luar rumah meninggalkan adik-adikku menuju rumahmu sambil menangis.
Kamu membuka pintu langsung memelukku tanpa bertanya apa-apa; ya, cuma kamu yang mengerti aku. Setelah menarikku ke ruang tamu dan memberiku segelas air putih, kamu lalu membelaiku. Tidak tahu kenapa atau setan apa yang merasuki kita (atau karena orang tuamu tak di rumah malam itu), aku sudah terlentang tanpa busana di kasur kamarmu.
Pernah ketika aku bertarung mulut dengan salah satu guru kita, entah kamu datang dari mana, kamu langsung memaki guru itu; padahal kamu tidak tahu duduk permasalahannya, sepertinya aku yang salah, kamu tak peduli. Aku diskors satu minggu; kesempatanku untuk berkelana. Kamu ikut membolos. Kita berkelana kemana saja: Bandung, Jakarta, pantai, gunung, mal, emperan, gedung bertingkat, sampai kolong-kolong jembatan kita jelajahi. Guru kita mengetahui kalau kamu membolos karena aku, akibatnya kita diberi ‘bonus’ skors satu minggu lagi, itu bukan masalah; kita makin menjadi-jadi. Kita tak pernah memikirkan ‘keterbatasanmu’ yang tak pernah mau kamu ceritakan; pokoknya bersenang-senang.
Saieu, apakah kamu masih mengingat itu semua? Aku masih.
Ingatkah ketika kamu digoda seorang preman, lalu aku (dengan badan krempeng) berusaha membelamu? Hehehe, itu berakhir dengan lebam-lebam di mukaku karena ternyata preman itu punya banyak ‘partner’ lain yang juga ikut-ikutan mengeroyokku, aku bangga meski begitu, sebab aku punya lebam-lebam yang kemudian kamu urus.
Aku jadi tak sabar bertemu kamu. Bagaimana rupamu sekarang, apakah sudah berubah?
Aku kerap ‘singgah’ pada gadis-gadis lain, kamu selalu maklum, dan hebatnya, aku selalu kembali padamu. Ingat si Ayu anak kelas tiga IPA empat yang pernah kuperkenalkan padamu dengan maksud untuk membuatmu cemburu karena dia aku pacari bersamaan dengamu lalu kamu cuek? Aku tak berhasil waktu itu, kamu lebih dewasa daripada aku.

***

Pesan itulah yang menyatukan kita kembali. Sore itu aku bertemu kamu. Kita makan, jalan-jalan, bercerita, dan akhirnya ‘menyatu’. Waktu itu kita menikah limabulan setelah kamu diwisuda; aku belum diwisuda. Heran. Kamu masih tak pernah mau menceritakan ‘keterbatasanmu’ bahkan sampai kamu terbaring di rumah sakit ini, jantungmu yang akhirnya menceritakan itu.
Saieu apakah kamu mendengarku dalam tidurmu? Tolong, jangan tinnggalkan aku sekarang!
Eh, kamu. Kok engga tidur, aku udah tidur berapa lama?” kamu terbangun.
“Saieu, jangan pikirkan aku. Yang penting kamu bisa sehat kembali agar kita bisa berkelana. ” bisikku padamu.

                                                                                                                             Etang’s copyright


No comments:

Post a Comment