“Bunda, ini apa?” dibalik telunjuk mungil itu terkepal keingintahuan yang bukan kepalang, seraya mendekati ibunya yang sedang membaca sebuah catatan usang pada secarik kertas. Anak itu tidak seberapa besar, tapi dahaga keingintahuannya sanggup menenggak lautan aksara. Umurnya bisa dihitung dengan satu telapak tangan, bahkan belum genap. “Ini kertas” cepat-cepat ibunya menjawab, cepat-cepat pula ibunya menyembunyikan catatan usang itu di kantung bajunya, lalu berusaja untuk tersenyum padanya.
Keesokan harinya. “Bunda, ini...yang ini apa?” Kembali ia bertanya seperti tak ada habisnya. “Ini...yang ini?”Ibunya memastikan. “Iya...yang belentet ini.” Sekarang ia—yang belum fasih melafalkan ‘r’—membawa serta selembar surat kabar bekas bungkus gorengan. “Oh, ini,...ini huruf.”Ibunya membatin gembira, sebab dugaannya tentang catatan usang itu ternyata salah. “Hulup...hulup itu apa Bunda?” Ya, tak ada habisnya ia bertanya seperti tetes air hujan di bulan November, ketika yang satu jatuh maka yang lain mengikuti, ya seperti itu. Kali ini ibunya seperti buntu akal lalu menjawab sebisanya. “Huruf itu ya..sesuatu untuk dibaca.” berharap agar anaknya mau mencerna. “Dibaca...dibaca buat apa Bunda?” [“Benar kan seperti air hujan di bulan November?”]. “Dibaca buat dimengerti,” ibu yang sabar ini terus meladeni. “Oh...,” ia menjawab tanda paham, lalu ngeloyor pergi kembali bermain.
Mereka adalah sebuah keluarga, keluarga kecil yang terlihat bahagia. Anak itu adalah anak mereka yang pertama sejak pasangan itu menikah. Ia belum masuk TK karena belum cukup umur. Ia bukan seorang anak ‘precocius’. Ia hanya lebih cerdas dari anak-anak seusianya. Sementara anak-anak lain ingin digendong, maka ia lebih memilih berjalan; ketika anak-anak lain diam kalau diomeli, ia malah balas mengomeli. Seperti waktu itu ketika ia disuapi ibunya, “Ayo...tinggal sesuap lagi...aaa, ” ibunya menyuruh membuka mulut, tapi ia tak mau, “Udah kenyang, ” ia menjawab. Ibunya yang merasa tidak dipatuhi sedikit menaikkan suaranya, “Ayo...aaa, ” kembali ibunya menyuruhnya membuka mulut. “Bunda...aku kan udah kenyang, ” ia malah lebih menaikkan suaranya dengan bersungut-sungut. Bila sudah begitu, ibunya biasanya langsung mengerti.
“...a...i...u...e...o...be..a..ba..bi..bu..be..be..o..bo,” ia sibuk mengeja lalu melafalkan. Sejak itu, ia ingin bisa membaca, ingin tahu apa yang ‘belentet’ itu, bagaimana membacanya dan apa artinya. Ibunya hanya bisa mengawasi kalau-kalau ia salah. “i..en..i..ni, ini, i..be..u..bu, ibu, be..u..bu..de..i..di, budi, ini ibu budi, “ semakin lancar saja ia membaca, dimana saja dan kapan saja ia menemukan huruf, ia akan berusaha membaca dengan mengejanya. Ketika di bus kota dalam perjalanan pulang dari pasar, dengan lantang ia bertanya, “ Bunda...’sakit bulanan’ itu apa?” kontan saja ibunya menoleh ke jendela dan melihat banner iklan Feminax. “Hmm...juga kamu tahu, ” ibunya menjawab sementara penumpang lain menahan tawa. Ia seperti keranjingan aksara dalam membaca. “de..el..ge, Adi, ” ucapnya begitu melihat tanda pengenal seorang dokter gigi tempatnya memeriksakan gigi. Dokter itu cuma bisa sedikit jengkel sebab dokter itu menyuruhnya membuka mulut sambil menjulurkan lidah ketika ia mengucapkannya.
Ibunya sedang memasak ketika ia teringat catatan usang ibunya, yang cepat-cepat disembunyikan ibunya, yang disimpan di kantung baju ibunya, yang waktu itu ditunjuknya, dahaganya belum terpuaskan sampai ia membaca catatan usang itu, yang kertasnya sudah menguning, yang sudah sangat lusuh, yang ada bekas tanah merah menempel di baliknya, yang lecek, yang tak berarti banyak buat anak itu, yang...[“dahulu...kau biarkan aku membacanya sebelum kau remas lalu melemparnya. ”]
Ia mulai membaca, kali ini tidak bersuara, isinya:
Kalau kau bisa membuat hati ini bergetar, maka percayalah hati ini menjadi milikmu selamanya. Bisakah?
[“Cinta...aku tak perlu menjawab pertanyaan itu, sebab, ...aku sudah melakukannya tanpa kau sempat menyadarinya.’]
Etang’s copyright
No comments:
Post a Comment