Saat-saat menjelang pernikahan, saya bertanya ke pasangan. Dia mau dipanggil apa setelah menikah nanti. Abang, Aa', Mas, Kakanda, Kakangmas, Duli Tuanku atau apapun (oke, tiga terakhir itu ga pas di zaman sekarang). Sehari-hari pasangan dipanggil Aa' oleh ketiga adiknya yang selalu saya sebut ABThree. Maklum ada darah Indramayu di keluarga pasangan saya.
Pasangan pun dengan mantap berkata, "Panggil kayak biasa aja." Kayak biasa yang dimaksud adalah panggilan saya sehari-hari selama pacaran ke pasangan. Saya biasa memanggil pasangan dengan namanya: Etang. Malah suka saya panggil Gotong. Pasangan justru merasa risih kalau namanya diembel-embeli Aa', Mas, atau Abang.
Beberapa teman merasa heran dengan kemauan pasangan. Bahkan salah satu dari mereka berkata, "Ga papa sih. Kalau beda umurnya ga jauh, kan ga masalah." Langsung saya tertawa mendengar komentarnya. Bagaimana tidak. Saya dan pasangan terpaut 3.5 tahun. Semakin heranlah mereka.
Sampai akhirnya saya pun hamil. Saya kembali bertanya ke pasangan. Dia mau dipanggil apa kalau si kecil lahir. Pasangan maunya tidak perlu panggil dengan sebutan mama-papa, ayah-ibu, atau lainnya. Pasangan mau anak(-anak) memanggil kami dengan nama saja. Untuk yang satu ini saya menolak. Bukannya saya tidak setuju dengan kemauan pasangan. Masalahnya adalah apa lingkungan keluarga, kerabat dan teman-teman bisa menerima hal semacam itu. Pasangan mau menerima alasan itu. Jadi, gantian pasangan yang bertanya saya mau dipanggil apa. Saya tersenyum-senyum. Sejak tahu hamil, saya selalu mengobrol dengan jabang bayi dan selalu menyebut diri saya, mama. Jadi, pasangan setuju si kecil nanti akan memanggil kami dengan papa-mama.
Tapi, rasanya aneh, suatu hari nanti saya dipanggil mama..mama..
No comments:
Post a Comment