Tuesday, August 7, 2012

(Masihkah) Rumahku Istanaku

Posted on Multiply, August 23, 2007 12:39 PM


”Warga korban kebakaran kolong tol Pluit menolak pindah dengan alasan rumah susun yang disediakan pemerintah tidak layak huni.”

Kira-kira seperti itulah berita yang saya baca di running text salah satu televisi swasta. Saya pun membatin, “Apakah rumah mereka yang sudah rata dengan tanah itu bisa dibilang layak?” Seketika saya teringat teman lama sewaktu SMA dulu. Bisa dikatakan dia tinggal di daerah kumuh. Dimana jalan menuju rumahnya terdiri dari gang-gang kecil dengan selokan seadanya. Tidak ada jarak antara rumah yang satu dengan lainnya. Bangunan seolah-olah menempel erat-erat. Rapat, sesak, pengap. Sepuluh meter dari depan rumahnya merupakan rel kereta api. Bisa dibayangkan, setiap beberapa menit, rumah teman saya itu digoncang ‘gempa’. Saya sempat menginap beberapa kali di rumahnya. Saya tidak bisa tidur nyenyak pada waktu itu. Selain ‘gempa-gempa kecil’, saya merasakan kamar teman saya itu luar biasa pengap. Padahal kipas angin sudah dinyalakan ke kecepatan maksimal. Memang kamar teman saya itu tidak ada jendela sama sekali. Bahkan tidak ada lubang angin yang biasa terdapat di atas pintu. Sejak itu saya berjanji saya tidak akan tinggal di tempat seperti itu. Saya tidak bermaksud sombong. Sebab saya tidak akan sanggup tinggal di daerah seperti itu seumur hidup.

Saya pernah tinggal di rumah susun. Saya nilai, rumah susun justru jauh lebih layak untuk dihuni ketimbang rumah-rumah di kolong tol misalnya. Saya punya ventilasi dan sanitasi yang lebih baik. Saya punya lapangan olahraga dan taman bermain yang biasa digunakan oleh anak-anak penghuni rumah susun. Hal-hal yang jarang terdapat di pemukiman kumuh. Selama tinggal di rumah susun, saya baik-baik saja dan bahagia.

No comments:

Post a Comment