Posted on Multiply, February 16, 2010 3:17 PM
Di suatu siang yang membosankan. Saya sedang duduk bermalas-malasan di minibar kantor bersama beberapa rekan kantor. Termasuk salah satu big bossyang hobi meledek orang. Oh, tidak perlu repot-repot membayangkan minibar yang penuh aneka minuman serta botol aneka warna dan bentuk. Minibar di kantor saya cuma berupa meja dan bangku tinggi layaknya meja disebuah bar minus minuman beralkohol.
Tiba-tiba, big boss berkata, "Eh, Yola. Akhir-akhir ini kamu lebih modis, ya? Jelas lah," sambung si bos. "Suamimu kerja di perusahaan minyak, masak pakaiannya ngga berubah." Kira-kira begitulah perkataan si bos yang bisa saya ingat.
Ingatan akan kejadian di suatu siang yang membosankan itulah yang mengilhami saya untuk menulis catatan ini. Kalau saya merunut ke masa delapan tahun lalu, gaya berpakaian saya tidak jauh berbeda dengan masa sekarang.
Sewaktu awal kuliah, tentunya saya berpakaian a la mahasiswa. Seadanya dan sederhana. Karena pikiran saya waktu itu, saya mau kuliah kok. Bukan mau ikut lomba sampul majalah. Tiga tahun setelah berkutat dibangku perkuliahan, saya memutuskan mengenakan kerudung. Pada saat itu, stok pakaian tertutup saya sedikit sekali. Beruntung, sejumlah teman yang lebih dulu mengenakan kerudung, berbaik hati menyumbang pakaian atau kerudung mereka. Tapi, pilihan pakaian saya tetap terbatas. Jenis, model, dan warna pakaian serta kerudung saya tidak sebanyak dan bervariasi seperti sekarang.
Semakin bertambah usia, gaya berpakaian saya justru seperti kembali ke zaman kuliah dulu. Pakaian yang saya kenakan ke kantor seperti ingin berangkat kuliah ketimbang bekerja. Perlu diingat, lingkungan kerja kantor tempat saya bekerja memang tidak mensyaratkan berpakaian layaknya seorang eksekutif muda.
Memang betul, ketika pasangan bekerja di salah satu perusahan minyak, kondisi keuangan kami jauh lebih membaik. Saya punya uang lebih untuk belanja gila-gilaan, kalau saya mau. Kenyataannya, sejak kondisi keuangan kami membaik, saya justru lebih sering berbelanja pakaian di lapak pakaian bekas di Pasar Senen. Terimakasih untuk adik-adik ipar saya yang telah menghipnotis saya untuk pergi ketempat tersebut. Disana, saya bisa mendapatkan baju bintang lima seharga kaki lima. Bisa dibilang, sekitar 75 % pakaian yang saya miliki adalah pakaian bekas.
Saya tidak merasa malu. Saya justru merasa unik karena pakaian saya beda dengan orang lain. Ditempat itu pun saya bisa belanja gila-gilaan. Saya bisa menghabiskan ratusan ribu berburu pakaian yang aneh, lucu, unik, keren, modis, apapun namanya. Kalau dibandingkan berbelanja di pusat perbelanjaan modern, uang ratusan ribu hanya dapat 1-3 helai pakaian. Di tempat itu, saya bisa dapat puluhan pakaian!
Sekarang, kalau sedang cuci mata di mall atau plaza, sisi gila belanja saya acuh terhadap pakaian-pakaian yang dipajang di etalase. Sebaliknya, saya bisa semaput melihat gaun atau atasan unik di lapak pakaian bekas. Jadi, untuk berpakaian modis seperti kata my big bos tadi tidak perlu keluar kocek lebih kok.
No comments:
Post a Comment